Selektif Dalam Menganut Keyakinan


Haryanto*)
Di alam penuh kebebasan berekspresi seperti sekarang ini merupakan momentum yang paling rawan terhadap kemunculan aliran-aliran kepercayaan baru (agama sempalan). Karena setiap warga negara memiliki hak untuk menganut, menjalankan dan menyebarkan keyakinan yang dianggapnya benar.
Munculnya agama sempalan pada hakikatnya merupakan penerjemahan atau pemaknaan ulang terhadap kepercayaan dan tradisi lama sehingga menimbulkan kebingungan masyarakat karena mendapatkan sesuatu yang baru. Sebagaimana yang belakangan ini menjadi wacana publik adalah beredarnya ajaran al Qiyadah al Islamiyah yang didirikan oleh Ahmad Moshaddeq pada Juli 2006.
Al Qiyadah al Islamiyah telah difatwakan haram oleh Majelis Ulama Indonesia, sebagaimana yang juga pernah diberlakukan oleh LDII, Ahmadiyah dan Komunitas Kerajaan Eden. Namun, keunikan yang melekat kepada aliran yang tidak mempercayai al-Hadist ini adalah pengikutnya yang banyak dari kalangan muda terdidik yang berada pada strata ekonomi menengah ke atas.
Dengan demikian, statemen yang dikemukakan oleh Azyumardi Azra bahwa faktor kemunculan agama sempalan (termasuk al Qiyadah al Islamiyah) berawal dari permasalahan sosial, seperti daerah konflik dan kemiskinan tidak menemui relevansinya, paling tidak dalam kasus al Qiyadah al Islamiyah.
Oleh karena itu, kita membutuhkan kerangka analisis baru yang dapat menerangkan kenapa kaum muda terdidik dapat dengan mudah terjerat oleh ajaran-ajaran keagamaan baru. Karena, ketika persoalan ini tidak bisa kita kupas, maka di masa yang akan datang tidak menutup kemungkinan terjadi tragedi yang serupa.
Menurut pandangan penulis terdapat empat faktor utama yang melatarbelakangi peristiwa di atas. Pertama, agama mapan yang selama ini menjadi tolak ukur kebenaran sama sekali tidak memberikan kepuasan terhadap daya kritis kaum muda. Sehingga kegelisahan yang tak kunjung menemui jawaban memaksa kaum muda untuk memilih ajaran baru yang dianggap dapat memenuhi hasrat rasional-kritisnya.
Kedua, Minimnya komunitas pemuda yang mengkaji persoalan-persoalan agama kontemporer. Keterjebakan para pengkaji agama dengan kembali jauh ke masa lampau sebenarnya telah menghilangkan makna universalitas ajaran agama untuk menjawab persoalan kemanusiaan yang semakin kompleks, seperti keadilan, kemiskinan dan kebodohan. Dengan demikian, agama tak lebih hanya sebagai tumpukan teks suci dan sejarah masa lampau yang ajarannya tidak dapat diimplementasikan dalam konteks kekinian.
Ketiga, Pengajaran dan pengamalan ajaran agama di lembaga pendidikan tidak memenuhi standar kualitas pemahaman dan perilaku keagamaan yang baik. Hal ini dapat dibuktikan melalui alokasi waktu yang disediakan oleh sekolah dan perguruan tinggi yang tidak lebih dari empat jam seminggu, atau bahkan hanya dua jam saja.
Keempat, Pemerintah tidak memiliki standar baku yang dapat mengklasifikasikan agama sempalan yang berkategori sesat dengan agama yang dilegalkan oleh negara. Sebab, di dalam tubuh setiap agama dapat dipastikan memiliki kecenderungan untuk memiliki pemahaman yang berbeda meskipun berangkat dari teks keagamaan yang sama.
Selektif
Dari keempat faktor di atas maka menjadi sesuatu yang wajar jika pemahaman keagamaan para kaum muda terdidik amat rendah. Sehingga terlalu mudah disusupi oleh paham baru yang sebarkan oleh tokoh-tokoh agama sempalan.
Oleh karena itu, memperbaiki kekurangan yang tercakup dalam keempat faktor di atas adalah mutlak dilakukan. Fungsinya adalah agar masyarakat, khususnya kaum muda terdidik dapat lebih selektif dalam menganut dan mengimplementasikan ajaran keagamaan yang diyakininya.
Kemudian, terungkapnya aliran-aliran sempalan belakangan ini semoga membuat kita hidup dalam masyarakat dengan bersikap lebih dewasa. Selain itu, dapat dijadikan bahan introspeksi kita bersama. Paling tidak untuk mengukur, sampai sejauh mana nilai-nilai serta ajaran agama sudah dilaksanakan secara benar. Meskipun ukuran kebenarannya bisa saja hampir nisbi, agama itu sendiri sudah memberikan patokan. Dalam Islam, misalnya, salah satu patokannya yang terukur adalah akhlak. Tercapainya tingkatan akhlak (manusia) yang mulia telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad sendiri.
*) Aktivis IMM Sukoharjo

0 Responses to “Selektif Dalam Menganut Keyakinan”:

Leave a comment