Mengurai pandangan politik para kiai

Haryanto*
Judul Buku : Nasionalisme Kiai:Konstruksi Sosial Berbasis Agama
Penulis : Ali Maschan Moesa
Penerbit : LKIS, Yogyakarta
Edisi : I, November 2007
Tebal : xxii + 358 halaman
Sebagai buah karya dari studi ilmiah, buku ini memiliki fokus kajian yang jelas, yaitu mengurai beragam pandangan politik kiai dalam konteks keindonesiaan, bagaimana mereka mengkonstruksi pandangan politiknya, dasar-dasar konstruksinya, dan konteks yang melatarbelakangi, serta apa maknanya bagi mereka.
Karena dengan menjawab beberapa pertanyaan di atas, penulis buku (Ali Maschan Moesa) berharap dapat menemukan beragam pandangan politik kiai yang terkait dengan relasi antara agama dan negara. Sebab, tak dapat dipungkiri jika kharisma dan kepemimpinan para kiai yang berbasiskan agama memiliki potensi besar untuk mempengaruhi sistem politik Indonesia, sebagaimana yang telah terformalkan dalam bentuk partai politik maupun organisasi masyarakat.
Berangkat dari pembacaan atas latar belakang pendidikan, wawasan keagamaan, pengalaman tradisi dan pengalaman-pengalaman di dalam mengarungi kehidupan yang terdapat pada sosok Kiai, Ali Maschan Moesa menemukan tiga mainstream (arus utama) pandangan politik kiai di Indonesia yang kemudian diklasifikasikan ke dalam kelompok kiai fundamentalis, kiai moderat dan kiai pragmatis (hal. 280).
Pertama, pandangan politik kiai fundamentalis bercorak integrated (kesatuan antara Islam dan negara). Artinya, negara tidak sekadar representasi agama, tetapi juga presentasi dari agama. Para kiai yang berada pada haluan ini meyakini bahwa kedaulatan tertinggi tidak berada di tangan manusia, tetapi berada di tangan Tuhan (divine sovereignty). Sedangkan latar pemikiran yang dibawa adalah berangkat dari konsep negara Islam (Dar al-Islam) dan persatuan Islam (Pan-Islamisme). Sehingga kecenderungan gerakannya adalah ke arah formalisasi syariat Islam dalam bernegara (hal. 281).
Kedua, kiai moderat memandang relasi antara agama negara lebih bersifat simbiotik, yaitu relasi yang bersifat timbal balik dan saling membutuhkan. Dalam hal ini, agama membutuhkan negara, karena dengan dukungan otoritas kekuasaan negara, agama dapat berkembang secara lebih baik. Sebaliknya, negara memerlukan agama, karena dengan agama maka negara akan berkembang dalam bimbingan etika dan moral-spiritual agama (hal. 282).
Sedangkan sistem politik yang dikehendaki oleh kiai moderat adalah demokrasi pluralis. Di mana batasan maksimalnya berada pada kekuasaan politik yang dipegang oleh orang-orang muslim, dan minimalnya adalah terjaminnya kebebasan bagi umat Islam dalam menjalankan ajaran agamanya. Sebagai konsekuensi atas pandangan tersebut, maka posisi syariat Islam harus diterapkan dalam masyarakat sebagai sistem nilai, namun tidak dijadikan hukum negara secara formal yang berimplikasi kepada islamisasi negara (hal. 283).
Ketiga, kiai pragmatis, pemahaman keagamaan mereka tergolong yang tekstual-normatif sehingga memandang NKRI dengan Pancasila dan UUD 1945 adalah perangkat kenegaraan yang belum final. Karena mereka memiliki kerangka ideal bahwa negara harus dibangun atas dasar iman (hal. 286). Meskipun golongan kiai pragmatis menerima prinsip dasar negara Indonesia (Pancasila dan UUD 1945), tetapi mereka tetap mengupayakan terbentuknya negara Indonesia yang berbasiskan Islam, baik secara nilai maupun formalisasi syariat.
Temuan baru
Selain ketiga pandangan politik yang bercorak klasik di atas, Ali Maschan Moesa juga menemukan sebuah pandangan politik baru yang dikonstruksi oleh para kiai, yang disebutnya dengan ”paradigma independensi”. Sayangnya, Ali Maschan Moesa tidak menempatkan pandangan baru tersebut dalam kelompok kiai tertentu sebagaimana ketiga pandangan sebelumnya.
Dalam pandangan ini, agama harus benar-benar terbebas dari negara. Sebaliknya, negara juga tidak bernafsu untuk mencampuri urusan agama warganya. Dengan ungkapan lain dapat dirumuskan dengan kalimat ”agama tanpa negara”. Maksudnya, bagaimana agar agama dan negara berdiri pada wilayahnya masing-masing dan tidak ada intervensi satu sama lain, kecuali melalui proses obyektivasi. Sehingga jika terjadi saling keterpengaruhan antara agama dan negara hanya terjadi pada tingkat moralitas saja, seperti menyangkut pengelolaan negara yang disasarkan pada moral universal keagamaan.
Fokus pandangan baru ini adalah mengupayakan secara sungguh-sungguh untuk melepaskan ”gurita negara” dan ”watak intervensionisme negara” terhadap warganya. Oleh karena itu, pemaknaan pokok dari paradigma independensi adalah untuk menjaga otonomi individu-individu dan kelompok masyarakat dari realitas negara yang cenderung menindas dan represif.
Sebagai buku yang berkualitas ilmiah, kontribusi yang diberikan buku ini sebenarnya adalah kelanjutan atas penelitian yang pernah dilakukan oleh Badri Yatim (1984). Quraisy Syihab (1994) dan Zamharir (2004) menyimpulkan bahwa nasionalisme Indonesia tidak bertentangan dengan agama Islam. Oleh karena itu, membaca buku ini tak akan pernah mendapatkan gambaran yang lebih komprehensif dan memuaskan katika tidak dimulai dengan membaca buku-buku sebelumnya.
Buku ini amat tepat dikonsumsi oleh para intelijen negara yang tengah melakukan pengamatan terhadap perilaku politik para kiai. Paling tidak dapat dijadikan rujukan agar dapat memetakan kelompok kiai yang berpotensi memunculkan konflik sektarian dan yang konsisten merekatkan semangat nasionalisme kebangsaan.
*) Aktivis IMM Sukoharjo

0 Responses to “Mengurai pandangan politik para kiai”:

Leave a comment