Mentransformasikan Semangat Patriotisme Para Kepahlawanan

Haryanto*)
Memperingati hari pahlawan pada 10 November mendatang tentunya tidak cukup hanya dengan melakukan agenda formal, seperti, upacara bendera dan berpidato tentang romantisme patriotik. Karena memberikan penghargaan kepada para pahlawan melalui cara demikian sangat lah tidak sebanding dengan pengorbanan yang telah mereka berikan untuk negeri ini.
Keterjebakan masyarakat kita dalam bingkai formalitas yang ritualistik, tentunya membawa dampak terhadap nilai-nilai yang terkandung pada momentum bersejarah tersebut tidak terinternalisasi dan teraktualisasikan dalam kehidupan yang nyata. Konklusi ini, menemui relevansinya dalam realitas politik yang korup, budaya instan yang merenggut kaum muda, konflik antar etnik dan agama, hingga separatisme yang melanda di berbagai daerah.
Semangat kepahlawanan semestinya terjawantahkan dalam kehidupan kita sehari-hari. Karena kita yang hidup pada saat ini sejatinya adalah penerus perjuangan para pahlawan untuk membawa bangsa Indonesia ke dalam bingkai persatuan.
Bangsa Indonesia memang telah terlepas dari penjajahan imperialisme kolonial yang militeristik, tetapi amanah besar para pahlawan sebagaimana yang terlukiskan dalam preambule UUD 1945 sama sekali belum menemui relevansinya dalam kehidupan yang nyata.
Dengan demikian, mencerdaskan kehidupan bangsa, mensejahterakan rakyat dan mewujudkan keadilan adalah agenda besar yang tidak bisa ditawar lagi. Sehingga mengadakan pendidikan, distribusi perekonomian secara merata, dan penegakan hukum dengan konsisten adalah bentuk yang paling konkret dalam mentransformasikan semangat kepahlawanan pada masa kini.
Menurut laporan Depdiknas, penduduk Indonesia yang buta aksara sebesar 14,6 juta jiwa, dan jumlah anak usia dini yang belum terlayani sebesar 1,4 juta anak atau 12,5 juta anak dari 11,9 juta anak. Sedangkan yang putus sekolah dasar pada tiap tahunnya mencapai 200-300 ribu pertahun. Kemudian masyarakat yang berada di bawah garis kelayakan hidup menurut laporan BPS pada 2 Juli 2007, mencapai 16,58 persen atau sekitar 37,17 Juta orang.
Hambatan dan Pemecahannya
Persoalan yang kemudian muncul ketika merealisasikan amanah UUD 1945 adalah ancaman dari luar yang berbentuk tekanan-tekanan politik, ekonomi dan penyatuan budaya, dengan kendaraannya yang sering kita sebut dengan globalisasi. Kemudian juga ancaman dari dalam yang dilakukan oleh manusia-manusia tak berhati nurani dengan perilaku korupsi, kolusi, nepotisme dan berbagai perilaku penyelewengan amanah rakyat.
Kedua persoalan tersebut telah membayang-bayangi Indonesia selama ini. Globalisasi yang dalam wujud konkretnya termanifestasikan dalam bentuk lembaga perekonomian global (WTO, World bank dan IMF) dan merambahnya teknologi informatika telah membawa dampak terhadap semakin kaburnya identitas nasional dan privatisasi atau liberalisasi asset-aset negara.
Sedangkan persoalan KKN sejatinya tidak hanya merambah pejabat publik dan elite politik. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Syed Naquib al-Attas bahwa perilaku korupsi adalah pengkhianatan atas amanah yang telah diemban oleh seseorang. Dengan demikian, setiap warga negara yang yang tidak menjalankan kewajibannya sebagai warga negara (seperti tidak membayar pajak) dapat dikatakan sebagai koruptor.
Sebenarnya, terdapat teori sederhanya yang dapat menjelaskan bagaimana berlangsungnya sebuah perilaku koruptif, yaitu jika seseorang memiliki pengetahuan, kemauan dan kemampuan untuk melakukannya.
Lantas, bagaimanakah menyelesaikan kedua persoalan tersebut sehingga tidak menghambat perealisasian amanah UUD 1945? Jawabannya memang tidak mudah, karena persoalan tersebut sebenarnya tidak hanya merambah Indonesia, tetapi juga banyak bangsa-bangsa di dunia yang mengalami hambatan yang sama.
Disini lah peran pahlawan-pahlawan baru untuk menyelamatkan bangsa Indonesia.
*) Aktivis IMM Sukoharjo

0 Responses to “Mentransformasikan Semangat Patriotisme Para Kepahlawanan”:

Leave a comment