Mendakwa Institusi Agama Mapan

Haryanto*))
Korban aliran sesat yang berasal dari kalangan muda terpelajar (yang ditinjau dari kelas ekonomi termasuk kalangan menengah ke atas) telah mematahkan tesis yang mengatakan bahwa aliran sesat berangkat dari ketidakmenentuan realitas masyarakat, seperti konflik sosial, kemiskinan, dan ketidakadilan.
Artinya, apa yang dikatakan oleh Marx bahwa agama adalah candu, tidak relevan lagi untuk dijadikan pisau analisis dalam menanggapi fenomena keterjebakan pemuda memasuki aliran sesat. Sebab, agama tetap menjadi pilihan bagi manusia untuk menggapai kedamaian dan keselamatan, meskipun agama itu dikategorikan sesat.
Sebagai fenomena baru, sudah selayaknya kita mempelajari strategi kunci yang dipergunakan oleh aliran sesat semacam al-Qiyadah al-Islamiyah, al-Qur’an Suci maupun Komunitas Kerajaan Eden dalam menjerat kaum muda terpelajar. Paling tidak dapat dijadikan bahan refleksi bagi institusi agama (seperti Muhammadiyah dan NU) yang ada di Indonesia. Sebab institusi agama yang selama ini dipercaya untuk menyampaikan nilai-nilai kebenaran agama telah gagal menjalankan tugasnya.
Kemunculan beragam aliran sesat belakangan ini tentu tidak bisa dilepaskan dari proses pemaknaan atas kitab suci agama (baca: al-Qur’an). Karena sumber utama ajaran—baik itu sesat atau lurus—tetap berangkat dari pemahaman terhadap kitab suci. Sebagaimana diungkapkan oleh Fanani (2007), berawal dari tidak adanya konsep baku dalam menafsirkan kitab suci, sehingga setiap orang dapat menafsirkannya yang disesuaikan dengan kepentingan penafsir—termasuk untuk kepentingan memunculkan ajaran baru yang sesat.
Persoalan lainnya berawal dari institusi agama mapan sibuk berdebat antar sesama dalam mempertahankan paradigma keagamaannya masing-masing. Sehingga umat yang seharusnya diperhatikan tingkat kualitas pemahaman keagamaannya justru terabaikan.
Kedua celah inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh tokoh aliran sesat dalam menyebarkan ajaran-ajaran baru (sesat) yang juga bersumber dari kitab suci. Masyarakat yang sudah jemu, kecewa dan merasa diabaikan oleh institusi agama mulai mencari jalan baru sebagai bentuk pemenuhan hasrat spiritualitas dan ajaran yang lebih menjanjikan untuk mencapai keselamatan (salvation) abadi. Sayangnya, keinginan tersebut ditemukan wujudnya dalam ajaran aliran sesat.
Minimal, aliran sesat telah memunculkan sosok suci yang dianggap dapat menyelamatkan manusia, seperti Ahmad Mushaddeq (pendiri al-Qiyadah) sebagai Nabi baru atau pemimpin Komunitas Kerajaan Eden yang mengaku jelmaan malaikat Jibril.
Sosok pemimpin kharismatik yang dapat menyejukkan umat semacam inilah yang saat ini telah hilang dari institusi agama mapan di Indonesia. Karena para tokoh agama justru lebih intensif dalam kancah politik yang sekadar pemenuhan hasrat kekuasaan.
Pertobatan Institusi Agama
Selayaknya, institusi agama mapan melakukan pertobatan (introspeksi diri) sebagai langkah untuk melakukan reorientasi gerakan sehingga dapat mengakomidir kepentingan kaum muda yang memiliki nalar kritis dan selalu haus akan ajaran-ajaran yang bermuatan penggapaian keselamatan abadi.
Dengan demikian, dakwah konvensional yang mengedepankan ceramah yang anti kritik mesti beralih menuju dakwah kontemporer yang mengedepankan dialog. Fungsinya adalah untuk menginterpretasikan kitab suci agama agar sesuai dengan semangat zaman dan kebutuhan masyarakat yang rindu terhadap kedamaian keselamatan abadi.
*)) Aktivis IMM Sukoharjo

0 Responses to “Mendakwa Institusi Agama Mapan”:

Leave a comment