Mengubah Kesesatan Paradigma Manusia

Haryanto*))
Selama ini, manusia dalam menjalani kehidupannya selalu mencari yang terbaik bagi dirinya sendiri. Kebahagiaan orang lain adalah prioritas kedua setelah keinginan-keinginan pribadinya telah tercapai. Itu pun ketika seseorang memiliki tingkat kepekaan sosial yang tinggi, padahal dalam realitasnya banyak orang tidak peduli dengan nasib orang lain yang menyedihkan.
Kerangka berpikir individualistik tersebut sebenarnya telah mengakar kuat dalam sejarah kebudayaan manusia hingga saat ini. Paling tidak dapat ditandai dengan beberapa peristiwa, semisal tragedi peperangan, fenomena kaya dan miskin, pengeksploitasian sumber daya alam, hingga proses industrialisasi di negara-negara berkembang.
Kerangka berpikir individualistik dalam perilaku sosial dinyatakan dengan model persaingan bebas dimana yang lebih kuat dan memiliki kekuasaan akan mendominasi mereka yang lemah. Maka dari itu, setting sosial yang menciptakan oposisi biner tersebut menghasilkan fakta yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin.
Apakah manusia tersadar dengan persoalan ini? Dapatkah kita keluar dari kungkungan paradigma individualistik yang menyesatkan? Atau manusia akan takluk dan terus menjalani rutinitasnya yang dapat menghancurkan peradaban lebih cepat dari seharusnya?
Manusia Makhluk Sosial
Paradigma yang harus dipahami pertama kali adalah bahwa manusia tidak bisa hidup sendiri tanpa adanya aktifitas manusia-manusia lainnya dalam sebuah sistem sosial yang sedang berjalan dan membentuknya.
Berangkat dari pijakan asasi tersebut maka akan mewujudkan konsekuensi pada tahap perilaku masyarakat yang saling menghargai, memberi kesempatan, saling berderma, dan tidak saling menjatuhkan. Sehingga akan tercipta sebuah tatanan masyarakat yang hidup dalam kedamaian.
Sayangnya, meskipun manusia memiliki fitrah sebagai makhluk sosial tetapi belum dapat tercermin dalam perilaku kehidupan sehari-hari. Karena manusia sebagai makhluk sosial baru sampai pada tataran pemahaman yang dalam implementasinya selalu berbenturan dengan sifat egoisme individual.
Maka dari itulah, untuk menghidupkan kesadaran sosial sampai ke tingkat implementasi konkret (aksi nyata) maka diperlukan sebuah sandaran dari sekadar pemenuhan kebutuhan material manusia. Sandaran ini dalam bahasa Kuntowijoyo dikenal dengan etika profetik.
Etika profetik dalam konteks kesadaran sosial merupakan sebuah kesadaran berpikir atau kesadaran mental bahwa tujuan keberadaan manusia bukanlah untuk melakukan persaingan antar sesama dan bukan untuk saling menjatuhkan, melainkan untuk saling berbagi, melindungi, dan menghargai.
Terbentuknya etika profetik yang termanifestasikan dalam kesadaran manusia merupakan pengejawantahan atas nilai-nilai transendental yang dianut oleh setiap orang yang memiliki keyakinan kepadaNya. Karena kita sebagai bangsa timur tidak mungkin berpaling dari sejarah yang telah mengawali peradabannya dari kearifan lokal (local wisdom) yang bermakna sakral.
Karena bermula dari pemahaman tentang kesakralan tersebut, maka manusia akan melampaui paradigma materialisme individual yang telah menghancurkan tatanan peradaban manusia. Berganti dengan paradigma kearifan sosial yang bersandarkan etika profetik.
Antisipasi Bukan Solusi
Salah satu basis etika profetik yang dikonsepsikan oleh Islam adalah ibadah zakat. Ibadah zakat pada prinsipnya merupakan langkah antisipasi agar manusia yang telah mencapai derajat kekayaan tertentu dapat memberikan secuil kekayaannya kepada yang lebih berhak. Karena rasulullah memahami benar bahwa hasil pengumpulan kekayaan adalah berasal dari pengambilan hak-hak dari orang lain.
Dengan demikian zakat bukanlah esensi dari penanggulangan persoalan ekonomi rakyat, tetapi paradigma manusia lah yang sebenarnya ingin dibangun oleh Islam. Karena makna di balik ibadah zakat adalah manusia tersadarkan bahwa pemilik sejati dari kepemilikan materi hanya Tuhan semata.
Dengan kata lain, paradigma yang menaungi perilaku manusia, khususnya zakat memiliki rujukan kepada Tuhan. Maka dari itu, pemungsian zakat memiliki ruang lingkup yang tak terbatas, termasuk untuk pengadaan pendidikan bagi masyarakat yang secara ekonomi kurang mampu. Karena pendidikan sebagai bentuk pencerdasan bagi masyarakat tentunya lebih efektif jika dibandingkan dengan pemberian uang yang hilang dalam sekejab.
Disinilah letak universalitas peran zakat sebagai manifestasi dari etika profetik yang dapat memunculkan kesalehan sosial (social piety) bagi mereka yang konsisten menunaikannya. Sebuah paradigma yang dapat menjadi solusi atas kekacauan tatanan masyarakat yang berwatak individualistik.
*)) Aktivis IMM Sukoharjo

0 Responses to “Mengubah Kesesatan Paradigma Manusia”:

Leave a comment