Peran Bahasa Dalam Media

Haryanto*))
Banyak orang beranggapan bahwa bahasa merupakan sesuatu yang biasa-biasa saja, bahkan dianggap tidak penting. Bahasa hanyalah perangkat yang dipakai untuk melakukan interaksi sosial agar apa yang dikehendaki dapat ditangkap oleh orang lain; bahasa adalah untuk menandakan sesuatu; atau bahasa merupakan manifestasi dari dalam jiwa; Bahkan, dalam konteks ilmu pengetahuan, bahasa hanya diberi pengertian sebagai alat transfer dari dunia ide (gagasan) menuju dunia real.
Ooh, sesederhana itukah makna bahasa? Apakah kita pernah berpikir bagaimana suatu bahasa diproduksi? Bagaimana bahasa dijadikan kendaraan politik kepentingan? Atau pernahkah kita berpikir bahwa bahasa dapat menjadi alat hegemoni, penindasan, atau bahkan pembebasan? Dan yang terpenting, bagaimana media memahami bahasa?
Pada awalnya bahasa terbentuk karena kebutuhan manusia untuk memudahkan dalam berinteraksi, yang pada masa pra sejarah masih didasarkan pada simbol-simbol dan pelambang. Kemudian seiring dengan perkembangan kebutuhan manusia yang serba menginginkan kepraktisan dan kecepatan, maka simbol-simbol dan pelambang pun berubah bentuk menjadi huruf-huruf yang kita kenal seperti sekarang ini. Namun, ternyata bukan sekadar bentuk yang berubah, fungsi dari bahasa pun mengalami reorientasi. Yang semula sebagai alat Bantu berkomunikasi kemudian menjadi alat legitimasi kekuasaan.
Lho, kok bisa???

Bahasa Media
Media merupakan produsen bahasa yang paling produktif. Melalui tampilan-tampilan yang dibuat dengan begitu mengesankan, media telah berhasil mempengaruhi opini-opini yang beredar dalam masyarakat. Media bebas memilih kosakata apapun agar dapat diterima oleh publik, menceritakan segala realitas yang terjadi, bahkan bahasa yang ditampilkan melalui media seakan-akan menjadi realitas yang sebenarnya (realitas kedua/ realitas semu). Atau dengan kata lain, bahasa pers merupakan cerminan atau rekonstruksi atas realitas.
Wow begitu memikatnya sebuah media! T’rus…Bagaimana hubungan bahasa media dengan kekuasaan?
Karena bahasa media merupakan rekonstruksi atas realitas, maka bentuk sintaksis yang dipakai media cenderung berkaitan dengan kondisi sosial politik—tentunya yang paling dominan. Sebagai contoh kita dapat memperhatikan bagaimana melekatnya bahasa ala revolusioner di masa Soekarno, bahasa pembangunan di masa Soeharto, dan bahasa keagamaan di masa Gus Dur. Dari sinilah kita bisa memahami keterkaitan antara bahasa media dengan politik kepentingan, atau dalam bahasa Foucault power relation. Walhasil, bahasa bukanlah sesuatu yang bersifat netral.

Bahasa Persma
Kita memang patut prihatin, karena “paradigma persma masih sebatas bagaimana menampilkan sebuah berita yang baik”, berbeda dengan media umum yang sudah berpikir apa yang akan terjadi setelah berita sampai ke publik. Selain itu, gaya bahasa kritis yang biasa ditampilkan oleh persma terdahulu—khususnya di masa Orba—tidak lagi efektif untuk diterapkan, karena sebagian besar media umum saat ini telah berani menghantam pemerintahan secara kritis.
Hemat saya, bahasa Persma adalah bahasa mahasiswa. Jadi, bahasa Persma adalah bahasa berbasis keiilmuan, bahasa yang diorientasikan penuh untuk mendukung permasalahan-permasalahan keilmuan yang melingkupi mahasiswa. Selain itu, bahasa Persma juga harus dipersembahkan untuk membangun realitas dunia mahasiswa.
Dalam praksisnya, kekritisan yang konstruktif mesti diberdayakan. Karena sebuah ilmu tidak akan terbangun tanpa adanya kekritisan. Selain itu, fenomena kemunduran mahasiswa tidak akan berubah jika tidak dihantam dengan keras.
*)) Aktivis IMM Sukoharjo

0 Responses to “Peran Bahasa Dalam Media”:

Leave a comment