Pilgub 2008 dan Tantangan Demokrasi di Indonesia

Qahar Muzakir
Aktivis IMM Sukoharjo
Tinggal di http://qahar.wordpress.com
March 23, 2008
Indonesia merupakan salah satu negara yang menggunakan demokrasi dalam tata kelola pemerintahannya. Sejarah menunjukkan bahwa perjalanan implementasi demokrasi di Indonesia amatlah beragam. Sejak masa Soekarno hingga Soeharto, demokrasi ditengarai berjalan dengan praktik otoritarian. Setelah reformasi, keran kebebasan komunikasi dan berorganisasi serta gerakan aspirisari rakyat mulai terbuka. Demokrasi memulai babakan baru. Rakyat merasa inilah saatnya untuk mewujudkan identitas bangsa yang tertuang dalam undang-undang dasar. Kesejahteraan, kerakyatan dan keadilan bagi semua.
Meski demikian, masih terdapat endapan dari sistem sebelumnya yang tetap berjalan. Dalam ruang-ruang pendidikan, sistem ekonomi, praktik politik hingga pandangan mengenai “kesatuan” republik Indonesia. Kebebasan berbicara memang terbuka, tapi tidak dilandasi keberanian bertindak. Tuduhan-tuduhan mudah dilontarkan, tetapi hukum tetap saja bisu. Bahkan, untuk berharap sekalipun rakyat tidak lagi memiliki keberanian. Maka demikianlah korupsi tetap berlaku, penindasan tetap dilakukan dan konflik tetap berjalan. Memakan korban rakyat kecil yang berpartisipasi dalam tata pemerintahan dan suksesi politik yang katanya demokratis ini.
M. Natsir dalam Pandji Islam menyitir ungkapan mantan Perdana Menteri Perancis, Reynaud, mengenai demokrasi, “kekurangan yang melekat pada demokrasi ialah tidak dapat melihat ke depan, dan tidak ada keberaniannya hendak melakukan langkah yang perlu.” (Dalam Capita Selecta, 1973: 391). Lalu, bagaimana menaruh harap pada demokrasi, mengenai keterwujudan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia? Apakah kesialan sila kelima Pancasila, sebagaimana yang diungkap Amien Rais, akan tetap terus berlangung?
Demokrasi Untuk “Rakyat”
Demokrasi mensyaratkan keterlibatan seluruh elemen bangsa dalam menentukan arah jalannya pemerintahan. Tidak hanya berhenti pada penentuan pejabat pemerintah, tapi juga mengontrol dan “menegur” pemerintah. Melalui ketersediaan ruang publik, alat komunikasi serta instrumen kenegaraan yang telah disediakan. Demokrasi menjadi bentuk pemerintahan yang ideal, bila kita hendak membandingkannya dengan model tirani, aristokrasi dan oligarki. Tetapi sangat dimungkinkan praktik tirani, aristokrasi dan oligarki berjalan di dalam demokrasi. Hal ini dapat terjadi manakala rakyat dihalangi untuk menentukan urusan mereka, alat komunikasi di kontrol dengan ketat dan instrumen kenegaraan menjadi sekedar formalitas (Chomsky, 1997:2-3). Telah terjadi, meminjam istilah Buya Syafii, praktik membunuh demokrasi atas nama demokrasi.
Saat ini kita perlu bertanya, masyarakat demokrasi macam apa yang kita berada didalamnya. Serta pemerintahan demokrasi seperti apa yang justru tidak mampu memenuhi hak-hak rakyatnya. Demokrasi, yang pernah ada di Indonesia, dapat dipilah dalam tiga kategori. Pertama, demokrasi penguasa yaitu demokrasi yang tidak terlepas kooptasi dominasi dan hegemoni penguasa pemerintahan. Pemilu hanya menjadi – istilah Z. Setiawan (Wawasan, 13/3) “ritual kosong” yang tidak bermanfaat bagi rakyat luas.
Kedua, demokrasi elit yaitu praktik demokrasi yang mengarahkan massa rakyat pada pemberian legitimasi kuasa-kepentingan sebagian kecil rakyat, yaitu kelompok elit. Pemerintahan rakyat adalah “kita” sebagai rakyat. Kata “kita” yang memiliki makna partikular, sektarian dan solidaritas pemilik fasilitas. Ketiga, demokrasi rakyat yaitu demokrasi ideal dimana seluruh rakyat (bukan sebagian) dengan terbuka dan tanpa intimidasi menentukan dan mengontrol pemimpin dan arah pemerintahan.
Tipologi demokrasi yang pertama dan kedua, menghadirkan kesejahteraan ekonomi menjadi milik segelintir orang. Hukum ditegakkan atas banyak orang namun menjadi ompong bagi elit berkuasa. Lembaga-lembaga kerakyatan telah berubah keperwakilan “rakyat”-nya. Tiada lagi yang namanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Merekalah yang dikritik Buya Syafii layaknya penari yang berlenggak-lenggok mengikuti tabuh genderang kapitalisme dan neo-liberalisme. Demokrasi macam ini harus dihindari karena tidak sejalan dengan cita-cita demokrasi Indonesia (kerakyatan), karena dimensi keadilan telah disingkirkan (2004:173).
Demokrasi rakyat mendapatkan angin segar setelah reformasi berlangsung. Akan tetapi sebagaimana dikemukakan sebelumnya, bahwa terdapat endapan sistem yang tetap berjalan. Sekalipun orde baru dengan praktik “demokrasi penguasa”-nya telah tumbang, pengendalian demokrasi hanya berpindah tangan pada para elit yang mengendarai –alat- partai politik. Bisa jadi endapan itu tidak hanya berawal dari orde baru atau dari orde lama, tapi telah dimulai jauh sejak masa kolonial hingga saat ini. Dan sangat memungkinkan, terjadi pada Pilgub Jateng 2008 mendatang.
Setiap calon pilgub pasti memiliki visi dan misi. Memiliki janji pemenuhan isu-isu yang terdengan populer di telinga rakyat Jawa Tengah. Tapi, apakah mereka memiliki cita-cita ideal mengenai masyarakat yang ingin di wujudkan? Tokoh-tokoh nasional kita, seperti Soekarno, Natsir, Syahrir, Hatta dll adalah pemimpin bangsa yang dilahirkan –semenjak muda- dengan cita-cita masyarakat Indonesia ideal yang berangkat dari refleksi-kritis tokoh dunia. Tapi pemimpin kita sekarang berdiri mengepalkan tangan dan berjanji tentang kesejahteraan rakyat, justru dengan cita-cita mendapatkan mobil mewah, rumah indah dan deposit bank yang besar.
Pilgub 2008: Mengapa Harus Memilih?
Di tengah kegundahan, keraguan dan pelbagai pandangan minor, tak cukup beranikah untuk menaruh harap? Rakyat yang telah kehilangan harapannya, seringkali memilih untuk “tidak memilih” atau golput. Melihat banyaknya pandangan yang mengarah ke sana, tantangan dalam pilgub 2008 bukan sekedar menjadi pemenang. Tantangan yang sebenarnya ialah bagaimana menjawab harapan rakyat dan membuktikannya. Otonomi daerah seharusnya menjadi titik awal membangun kesinambungan pembangunan daerah. Pembangunan, menurut Soedjatmoko, bukan sekedar secara fisik. Yang lebih penting ialah membangun mental berpendidikan, kesejahteraan dengan kemandirian ekonomi, hukum yang tak bisu berkata tegas menegakkan keadilan.
Dari sekian calon yang kini harap-harap cemas meraih kekuasaan, adakah cita-cita masyarakat ideal yang ingin di wujudkan bagi rakyat Jawa Tengah? Atau hanya visi dan misi yang selalu ideal. Karena demikianlah terminologi visi, hal yang besar, mencakup semua, dan tidak mungkin mudah terwujud. Agar semua orang terus dan terus berusaha mewujudkan? Sementara kondisi tetap dihiasi ketidakadilan, kemiskinan dan kesejahteraan yang tak kunjung terwujud.

0 Responses to “Pilgub 2008 dan Tantangan Demokrasi di Indonesia”:

Leave a comment