IMM dan Masa Depan Gerakan Mahasiswa

Qahar Muzakir
Aktivis IMM Sukoharjo
Tinggal di http://qahar.wordpress.com
April 18, 2008

Saat ini tidak dapat dipungkiri bahwa gerakan mahasiswa mengalami masa dipersimpang jalan. Banyak pihak beropini bahwa terjadi kemunduran “kualitas” gerakan mahasiswa, bila dibandingkan angkatan gerakan mahasiswa yang sekarang jadi pejabat negeri ini. Dalam hal ini tentunya secara umum tidak terkecuali menimpa Ikatan, namun dengan beberapa kekhususan akar masalah. Kondisi yang demikian tidak terlepas dari dua hal. Pertama, IMM sebagai organisasi otonomi Muhammadiyah, mendapatkan dukungan fasilitas dan modalitas, yang justru menjebak Ikatan pada bentuk-bentuk organisasi formal. Tidak berani kritis.
Pendekatan yang digunakan oleh Muhammadiyah dalam memposisikan Ikatan pun cenderung berparadigma struktur-fungsional. Ikatan –diharapkan- sebagai organisasi persemaian kader bagi Muhammadiyah, tidak lebih. Kritik yang disampaikan oleh IMM dianggap sebagai anomali dari sistem yang tertata dengan baik. Pernah pada suatu kali seorang kader bercerita bagaimana ia di kritik oleh pejabat Muhammadiyah, karena sering mengkritik Muhammadiyah dan AUM, yang justru sudah di kritik Ahmad Dahlan. “Kamu pasti di kos bacanya Marx. Bagaimana Muhammadiyah dapat maju kalau bacaannya penindasan-penindasan macam itu”. Bila “kemajuan” bagi Muhammadiyah berarti dengan menjadi penindas baru di negeri ini atas nama gerakan kemanusiaan, maka IMM harus menjadi gerakan pertama yang menentangnya atas nama Islam.
Kedua, persaingan antar gerakan mahasiswa lain yang relatif lebih “independen dan bebas” dalam menentukan isu-isu gerakan yang berkaitan dengan rakyat. Ikatan menjadi kurang kreatif dan berani dalam melakukan respon cepat kebutuhan gerakan, organisasional, perkaderan dan jaringan; karena terlalu banyak pertimbangan “posisi” dengan Muhammadiyah. Keberadaan IMM dan ortom lainnya tidak terlepas dari kuasa-peran Muhammadiyah dalam arti makro, baik secara struktural, khittah gerakan, karakter kaderisasi dan kebijakan organisasi. Tentunya, IMM seringkali di cap “nakal”, tapi malu-malu kucing. Ungkapan Pak Djasman layak menjadi tamparan pada kita, “bila ada yang menghalangi IMM dalam mewujudkan tujuan, maka lawan, tak peduli orang tua sendiri”. Dan itu artinya, meski banyak basis perkaderan Ikatan berada di PTM dan tumbuh berkembang dengan limpahan dana, ia tak boleh menjadi lunak karena itu.
Derap Kebangkitan
Kebangkitan IMM harus didengungkan lebih dari sekedar slogan. Empat persoalan dasar yang dihadapi IMM saat ini, dan umumnya gerakan mahasiswa; sebagaimana rumusan penulis pada pertemuan staf harian PC IMM se-Jateng November 2007. Pertama, gerakan mahasiswa saat ini mengalami kegamangan arah gerakan. Pada masa Orla dan Orba, pemerintahan otoritarian dan korporatisme ini memiliki banyak catatan kelam yang pantas menempatkannya menjadi musuh bersama. Tapi pasca reformasi? Gerakan mahasiswa dan banyak gerakan sosial lainnya dihadapkan pada kesadaran perlawanan terhadap kapitalisme, neofeodalisme dan neoimperialisme; tapi minim kemampuan dalam menerjemahkannya hingga di tingkat lokal. Bingung dalam menskematisasi berlakunya sistem dan modus operandi yang digunakan. Sehingga beberapa gerakan sosial, bahkan gerakan mahasiswa, menjebakkan dirinya pada proyek-proyek dengan dana besar yang mengatasnamakan pemberdayaan masyarakat. Sementara tanpa paradigme dan alat analisis mengenai anti-penindasan dan anti-kapitalisme, tanpa sadar mereka semakin memassifkan sistem tersebut di tubuh masyarakat. Meski sebagian besar IMM di tataran DPD dan DPC mengusung pemberdayaan masyarakat ini, harus diakui –atau justru bersyukur- bahwa soal “pencarian dana” , kita masuk kategori paling lemah dibanding ortom lainnya.
Kedua, efisiensi dan sinergitas manajemen organisasi menurun. Manajemen organisasi gerakan mahasiswa bukanlah manajemen rigid yang sekedar mengurusi persoalan data administratif semata. Manajemen organisasi Ikatan mensinergikan perwujudan arah gerakan, konsolidasi jaringan dan pembentukan karakter kader berjalan efektif dan sinergis. Tidak memiliki jalur yang berbelit, apalagi textbook minded. Jalur panjang otorisasi dari DPP hingga ke tataran DPC mesti di pangkas. Hubungan yang dibangun adalah koordinatif dengan DPD dan DPD. DPC seharusnya memiliki keluasan kebijakan dalam menentukan wajah IMM di daerah. Dengan demikian, DPC dapat menempatkan dirinya sebagai organisator dan kontrol, yang membentuk komisariat sebagai basis ujung tombak perluasan gerakan massa. DPC membangun jaringan konsolidatif yang diperkuat melalui jaringan gerakan dan dukungan isu lebih luas di tataran DPD dan DPP. Memutar logika top down yang feodalistik menjadi bottom up yang progresif.
Ketiga, pendidikan perkaderan seharusnya dirumuskan dalam kerangka mewujudkan kader cerdas yang berkarakter. Bung Hatta menyampaikan bahwa pendidikan bukan sekedar mencerdaskan. Menghantarkan seseorang menjadi cerdas adalah mudah, tapi membentuk kepribadian yang berkarakter teramat susah. Terlebih bila karakter yang ingin dibentuk memiliki penguasaan atas paradigma yang dibangun: spiritualitas, intelektualitas dan humanitas. Tiga dasar ini bukanlah sesuatu yang terpisah atau salah satu lebih unggul dari lainnya. Ia adalah kesatuan utuh karakter kader. Empat deklarasi (Deklarasi Kota Barat -Solo, Deklarasi Garut, Deklarasi Baiturrahman -Semarang serta Deklarasi dan Manifesto Kader Progresif -Malang) yang selama ini berulang kali di tulis, di bahas dan di dengungkan tak kunjung pula menjadi sebuah gerakan. Ternyata kader Ikatan memang teramat cerdas merumuskan banyak hal, tapi kurang berkarakter dan menggigit dalam melakukan tindakan.
Keempat, lemah dalam membangun sayap jaringan gerakan serta membangun organ-sayap independen di luar Ikatan. Jaringan yang dibentuk, organ sayap yang dibangun dan kerjasama yang dijalin tentunya bukan kepentingan pragmatisme pribadi, melainkan kebutuhan dan kepentingan jangka panjang Ikatan. Mengenai partai politik –yang selalu hangat diperdebatkan-, ada baiknya menyitir keterangan Gramsci mengenai Intelektual Organik. Intelektual organik dapat berada di dalam kekuasaan atau di luar kekuasaan, hidup di tengah masa tertindas. Pembeda terdasar intelektual organik bukanlah letak posisinya pada kekuasaan, akan tetapi keberpihakan paradigma dan gerakannya pada masa tertindas. Bila ternyata kekuasaan tak lagi dapat “diluruskan”, intelektual organik harus mengorganisir massa rakyat untuk melakukan perlawanan dari luar, sekaligus menghancurkan kekuasaan otoritarian dari dalam. Tapi jangan pernah merasa hebat dengan memasuki kekuasaan, tanpa pergerakan taktis dan strategis.
Kibar Panji Ikatan
Kader-Aktivis merupakan terminologi anggota IMM yang ideal. Sebagai kader ia bukan sekedar anggota, melainkan memahami visi dan tujuan Ikatan, dengan penuh kesadaran memilih IMM sebagai wadah perjuangan gerakan. Sebagai kader, ia mestilah memiliki penguasaan dan wawasan atas Islam selaku agama dan Muhammadiyah sebagai gerakan, serta berkapasitas intelektual dalam arti yang luas. Sebagai aktivis, ia memiliki penguasaan sebagai intelektual gerakan dengan anti-kapitalisme dan anti-neoimperialisme sebagai paradigma. Ia pula, memiliki seperangkat kompetensi sebagai aktivis gerakan dengan kemampuan praksis lapangan. Tidak semua anggota IMM adalah kader. Tidak semua kader adalah aktivis, sebagaimana tidak semua aktivis di dalam IMM bervisi kader. Masa depan IMM berada di tangan kader-aktivis.
Karakter kader-aktivis dapat terbentuk dengan perumusan tafsiran baru atas spiritualitas, intelektualitas dan humanitas. Kebutuhan identitas-karakter atas tiga pondasi tersebut mensyaratkan adanya kepaduan ideologis dan simbolis. Spiritualitas, mengacu pada pemikiran Fazlur Rahman mengenai pentingnya Islam dipahami secara utuh, bukan parsial, untuk kemudian menjadi basis ontologis dalam bertindak. Hal ini merupakan bentuk perlawanan atas logika positivis yang menghantarkan abad 20 pada kondisi unsecurity ontological. Dari Sayyid Qutb kita belajar bahwa, ”pemahaman atas agama ini tak boleh diambil dari orang-orang yang tak berjuang, yang hanya berinteraksi dengan kertas-kertas dingin!”. Qutb meyakini keberhasilan perjuangan bukan keberanian semata, tapi keyakinan dan prinsip untuk tidak berdiam diri. Kajian-kajian di masjid diselenggarkan, mimbar-mimbar di buka, berbicara mengenai –gagasan Qutb- prinsip-prinsip fundamental Islam yang bersifat revolusioner. Ia adalah revolusi melawan kekuasaan penindas, ketidakadilan, melawan prasangka politik, ekonomi, ras dan agama.
Intelektualitas. Seorang intelektual menurut Gramsci, adalah pribadi yang berpihak. Gramsci mengkecam para intelektual yang berpikir bahwa dirinya independen dan otonom. Merasa dirinya mampu memetakan masalah yang di hadapi kelas sosial dan merumuskan solusinya di secarik kertas, tanpa pernah hidup bersama mereka. Inilah pengkhianatan yang sesungguhnya dari kaum intelektual. Bukan rumusan “intelektual pengecut” ala H. J. Benda. Itulah mengapa Ali Syariati percaya bahwa peran pendidikan dapat mendorong revolusi sosial. Bagi mahasiswanya, Syariati merupakan dosen ideal dengan pidato yang memikat dan berkobar. Tradisi kuliahnya yang provokatif dan berpihak pada kaum tertindas ternyata menolak absensi administratif yang menurutnya birokratis dan membodohkan. Bagi Syariati, kembali pada Islam saja tidak cukup. Islam Abu Dzar atau Marwan? Syariati menyampaikan bahwa Islam yang benar lebih dari sekedar kepedulian. Islam yang benar memerintahkan kaum beriman untuk berjuang untuk keadilan, kemanusiaan dan penghapusan kemiskinan.
Humanitas. Ahmad Dahlan adalah sosok pendiri Muhammadiyah yang pernah di cap ‘ulama Kristen’, mengimplementasikan pemahaman Qur’an dengan mendirikan sekolah, membangun panti asuhan dan menghadirkan sarana pengobatan. Keberpihakannya begitu nampak, yang justru berbeda dengan belenggu yang menghimpit Muhammadiyah saat ini. Ada yang percaya hal ini dikarenakan pada masa itu anggota Muhammadiyah adalah entrepreneur yang tak segan mensedekahkan hartanya untuk organisasi. Tak segan Ahmad Dahlan berhadapan langsung dengan tradisi feodal Kraton dan pemahaman Islam konservatif. Bila strategi Ahmad Dahlan cukup moderat, Che merupakan sosok revolusioner yang mendunia. Wajahnya banyak terpampang di berbagai kaos dan buku, yang kini justru menjadi komoditas industri. Mereka yang mengoleksinya tak lagi ingat bagaimana pilihannya untuk terlibat bersama massa tertindas, miskin dan terlupakan, harus di bayar dengan mahal. Ia menyadari bahwa empati saja tidak cukup untuk menyelesaikan persoalan. Sistem itu harus di tumbangkan. Che bukan sosok yang berkata ‘pergi dan bertempurlah’, tetapi justru berkata ‘ikutilah aku dan berperang’.
Epilog: Menjemput Fajar
Pertanyaannya kemudian, dari mana harus memulai? Syarat demokrasi berkeadilan menurut Buya Syafii adalah integritas kepaduan agama, ilmu dan tindakan kemanusiaan dalam diri seorang pemimpin. Hanya pemimpin demikian yang dapat menjadi rahmatan lil ‘alamin, keluasan wawasan yang dimiliki kemudian didukung oleh keberanian atas landasan nilai agama dalam mewujudkan nilai-nilai universal yang luhur. Dalam mengiringi penyelesaian empat persoalan diatas, siapkah seluruh kader ikatan melepaskan tribalisme daerah? pandangan sempit? politik kepentingan sesaat? Atau melakukan reorientasi keberadaan di Ikatan, karena memahami, sadar dan bertindak mewujudkan tujuan gerakan yang di usung; atau hanya karena terjebak pada sistem solidaritas, tekanan lingkungan dan citra apresiasi masyarakat?
Saat melakukan refleksi membuat tulisan ini, terbesit, tentu mudah bagi kader setingkat PC seperti saya berbicara idealisme dan cita-cita ideal. Sementara kakanda DPD dan DPP menghadapi goncangan yang lebih besar, pilihan yang berat dan pengambilan keputusan yang dilematis dan rumit. Sekilas, teringat pada kalimat yang –maaf- saya lupa sumbernya, “…kita tatap wajah mereka, Hatta, Soekarno, Syahrir, Natsir dan banyak tokoh lainnya, adalah pemimpin bangsa yang dilahirkan –semenjak muda- dengan cita-cita ideal yang berangkat dari bacaan mengenai M. Iqbal, Karl Marx, Ali Syariati, Rousseau, Gramsci, Qutb dll. Tapi pemimpin kita sekarang berdiri mengepalkan tangan dan berjanji tentang kesejahteraan rakyat, justru dengan cita-cita mendapatkan mobil mewah, rumah indah dan deposit bank yang besar”. Merekalah negerawan yang lahir dari integritas yang dilahirkan dari dunia akademisi. Seperti ungkapan Hatta bahwa, ”tugas kampus bukan hanya mencetak mahasiswa pintar. Mudah membuat seseorang pintar, tapi sangat sulit untuk mencetak manusia yang berkarakter. Itulah tugas dunia akademisi, tugas perguruan tinggi”. Bukankah tujuan Ikatan yang termaktub dalam konstitusi ialah membentuk akademisi? Tapi, akademisi yang seperti apa?
Kelayakan dan keyakinan terhadap pemimpin bukan karena besarnya massa yang ia peroleh, tapi integritas yang terdapat dalam dirinya. Sampai kapan perhelatan Ikatan “hadir” karena demikianlah Muhammadiyah menghendaki. Bila terdapat pemimpin yang ber-azzam mengusung kebangkitan Ikatan, di Komisariat, Cabang, Daerah dan Pusat, kepadanyalah selayaknya kita berkhidmat.
Tak ada tulisan penutup yang lebih tepat selain mengutip Eko Prasetyo. Dalam bukunya Jadilah Intelektual Progresif, ia menuliskan pertemuan imajiner dengan Che Guevara dengan amat mempesona:
“…Berdiri dan lihat apa yang bisa kau perbuat untuk mereka yang miskin. Tulisanmu memang menyulut, tapi itu saja tidak cukup!….Apa kau tidak malu melihat ini anak muda. Perutmu kenyang. Kamarmu penuh buku. Bajumu licin berseterika….mereka hidup terlunta. Kau pikir dirimu tak terlibat dengan kondisi kejam ini? Kau seorang terpelajar yang dibesarkan oleh ide, nilai dan gagasan raksasa. Tapi itu semua tak membuatmu berani merubah keadaan….Yang kulihat sekarang bukan gerakan, tapi kumpulan penakut yang berambisi besar. Mereka lupa gerakan tak dibentuk semata-mata dengan uang, tapi pandangan tunggal tentang masalah! Kalian tak tegas melihat persoalan….Sudah waktunya kau berfikir, tentang gerakan perlawanan yang sesungguhnya.” (2007:118-119)
Tidak pernah ada kata terlambat untuk berubah. Dalam rangka menyambut muktamar, merupakan momentum tepat untuk melakukan refleksi; saatnya telah datang, untuk menjemput fajar yang cerah!. Tertundanya pertemuan bukan sebuah alasan bagi kita untuk terus mengutuk kegelapan malam. Kalimat terakhir yang dapat saya sampaikan: sekalipun gelapnya malam merampas senyum dan semangat dari matamu, yakinlah ia tak akan pernah mampu merampas nyala api perjuangan di hatimu! Abadi Perjuangan!!

0 Responses to “IMM dan Masa Depan Gerakan Mahasiswa”:

Leave a comment