Nilai Lebih Dalam Mengkaji Karya Fiksi

Haryanto*
Judul : Pesona jilbab di teheran
Penulis : Azar Nafizi
Penerbit : Think, Jogjakarta
Tahun : September, 2007
Tebal : 497 halaman
Novel sering dianggap sebagai karya fiksi tak bernilai karena narasinya yang sama sekali tidak menyentuh realitas kehidupan manusia. Benarkah demikian? Azar Nafisi dalam novelnya “Pesona Jilbab di Teheran”, memberikan peringatan kepada kita. Katanya: “jangan pernah menganggap remeh sebuah karya fiksi dengan mencoba menyalinnya dalam kehidupan yang nyata. Apa yang kita cari dalam sebuah karya fiksi memang tidak sebanyak kenyataannya, tetapi karya fiksi merupakan gambaran dari sebuah kebenaran” (hal. 16).
Sehingga, novel yang ditulis oleh mantan dosen di University of Tehran (Universitas Teheran) ini juga berangkat dari realitas sejarah yang telah dialami dan dirasakannya. Sebagaimana statemen yang diungkapkannya dalam catatan awal: “Fakta-fakta dalam cerita ini benar-benar nyata sebagaimana setiap memori yang selalu mengatakan yang sebenarnya, saya terus berusaha untuk melindungi para sahabat dan mahasiswa-mahasiswa, menyamarkan mereka dengan nama baru dan menyembunyikan mereka bahkan dari mereka sendiri, mengubah sisi-sisi kehidupan mereka sehingga rahasia mereka tetap terjaga” (hal. 13).
Novel Terlarang
Pemerintah Islam Iran yang menjadi latar dari cerita ini digambarkan oleh Nafizi sebagai negara tiran yang penuh dengan absurditas kekejaman, propaganda kebenaran, dan penyeragaman ideologi. Bahkan di kampus, para mahasiswa tidak diperkenankan untuk mempelajari khasanah keilmuan yang bersumber dari Barat.
Berangkat dari kekecewaan inilah, Izi (tokoh utama yang berperan sebagai dosen) bersama keenam mahasiswanya: Mitra, Yassi, Mahshid, Nassrin, Sanaz, dan Manna membuat kesepakatan bersama untuk melakukan perlawanan terhadap pemerintah Islam Iran.
Sebagai kaum intelektual, perlawanan yang mereka lakukan tentu tidak dengan menggunakan kekuatan fisik, tetapi dengan tidak mematuhi kebijakan-kebijakan yang mengekang kebebasan mempelajari ilmu pengetahuan. Konkritnya, mereka membuat kelompok khusus perempuan pengkaji sastra yang bertempat di rumah Izi, mereka mengkaji novel-novel yang telah dilarang oleh pemerintah, seperti Madame Bovary, Pride and Prejudice, Invitation to a Beheading, Daisy Miller dan The Dean’s December.
Melalui pengkajian terhadap novel-novel terlarang tersebut, Izi dan mahasiswanya makin tersadar bahwa segala bentuk ketidakadilan, entah itu atas nama politik, tatanan sosial atau dalil-dalil agama, tidak bisa dibenarkan dan harus dilawan meski pun harus dibayar dengan nyawa.
Secara keseluruhan, isi dari novel ini terbagi menjadi empat bagian yang setiap bagiannya memiliki fokus pembahasan sebagaimana buku-buku ilmiah atau pemikiran. Bagian pertama: Lolita, difokuskan untuk menggambarkan tokoh-tokoh yang berperan dalam cerita, dimulai dari latar belakang keluarga, karakter kepribadian, dan alasan kenapa sastra menjadi kajian yang amat penting sebagai sarana perlawanan perempuan.
Bagian kedua: Gatsby, menggambarkan perilaku represif pemerintah Islam Iran pasca revolusi yang ditinjau dari kebijakan-kebijakan anti kebebasan. Bagian ketiga: James, menceritakan realitas masyarakat Iran yang telah dikecewakan dan disingkirkan dari kebijakan politik Iran. Bagian keempat, Austen, adalah ending cerita dari anggota kelompok kajian yang akhirnya memilih untuk meninggalkan Iran dengan melanjutkan studi ke negeri Barat, seperti Amerika, Perancis dan Jerman.
Nilai lebih dari novel ini terletak pada keberanian penulis yang memberikan gambaran baru tentang kondisi sosial-politik di negeri para Mullah. Bahwa di balik kegarangannya melawan kapitalisme global, ternyata memendam arogansi kekuasaan dengan melarang rakyatnya untuk mempelajari beragam khasanah ilmu pengetahuan.
Selain itu, keunikan novel yang berjudul asli Reading Lolita in Tehran ini juga terletak pada muatannya yang kaya akan karya sastra klasik. Sehingga ketika membacanya kita tidak saja disuguhkan Reading Lolita in Tehran, tetapi juga Madame Bovary, Pride and Prejudice, Invitation to a Beheading, Daisy Miller dan The Dean’s December yang dapat membangkitkan semangat dan memberikan motivasi untuk tidak tunduk terhadap ketidakadilan.
Dengan demikian, benarlah kiranya apa yang dikatakan oleh pakar Sastra Indonesia, Sutardji Calzoum Bachri: “karya fiksi tidak sekadar deretan larik kata-kata yang asal beda, melainkan menyimpan filosofi seninya, estetika, wawasan, elan, bahkan ideologinya tentang kesenian, kemanusiaan dan kehidupan.”
*) Aktivis IMM Sukoharjo

Pengkhianatan Lembaga Pendidikan Dalam Memproduksi Intelektual Progresif

Haryanto*
Judul : Jadilah Intelektual Progresif!
Penulis : Eko Prasetyo
Penerbit : Resist Book
Tahun : September, 2007
Tebal : 133 hlm.
Realitas negatif lembaga pendidikan memang selalu menjadi persoalan di negara berkembang. Sebagaimana di Indonesia, menumpuknya sumber daya manusia dan potensi lokal sebenarnya berawal dari ketidak-mampuan lembaga pendidikan dalam memberikan bekal pengetahuan dan keterampilan yang cukup kepada peserta didik. Sedangkan dampak sosiologis yang paling konkret dapat ditemui pada fenomena migrasi besar-besaran masyarakat desa ke kota.
Parahnya lagi, peserta didik yang mendapatkan pengajaran di lembaga pendidikan justru kesadaran kritisnya semakin tercerabut. Karena di sekolah-sekolah formal, mereka dididik untuk menuntut ilmu pengetahuan secara murni bukan memecahkan persoalan mendasar kehidupan, seperti keluar dari lingkaran setan kemiskinan.
Eko Prasetyo yang belum puas menguliti kebobrokan realitas pendidikan melalui karyanya Orang Miskin Dilarang Sekolah (2005), beliau kembali menghantam lembaga pendidikan dengan buku terbarunya Jadilah Intelektual Progressif. Pada kali ini, tokoh-tokoh militan, seperti, Ali Syariati, Sayyid Qutb, Che Guevara, Antonio Gramsci, dan Rosa Luxemburg menjadi spirit utama dari setiap kata-kata yang tertera.
Pentolan Resist Book ini memulai tulisannya dengan sebuah cerita kekecewaan atas perubahan yang terjadi pada seorang aktivis jalanan. Aktifis yang di masa mudanya asik turun ke jalan memperjuangkan idealisme untuk melawan kekuasaan otoritatarian. Tetapi ketika di masa tua justru memilih menjadi kaki pemerintahan yang dingin, datar, dan anti perubahan.
Konsisten di jalan perlawanan memang selalu menjadi persoalan. Bahkan dapat dikatakan sebagai anomali ketika ada manusia (kaum intelektual) yang berumur 40 tahunan masih berpegang teguh dengan idealisme perlawanan yang berkobar sebagaimana ketika mereka berumur 20 tahunan.
Zaman memang telah berubah. Memenjarakan paradigma manusia ke dalam lubang pragmatisme yang selalu haus dengan keinstanan, kemewahan, dan kemapanan. Memupuk semangat egoisme individual yang seakan-akan melupakan fitrahnya sebagai makhluk sosial. Dampaknya, kepekaan terhadap realitas sosial yang timpang kian terkikis, dan bahkan dengan sengaja dibuang dari kesadaran.
Intelektual Sempalan
Siapa yang sangka seorang calon dokter kemudian jadi gerilyawan. Siapa menduga sosok sastrawan tiba-tiba berubah menjadi ulama militan yang hidupnya terus terancam. Che Guevara dan Sayyid Qutb adalah sosok yang sering menjadi inspirasi bagi para pejuang perubahan yang memilih garis hidupnya bersama massa yang tertindas. Atau dalam bahasa Gramsci disebutnya sebagai pribadi yang berpihak.
Tetapi di zaman sekarang amat sulit menemukan sosok intelektual seperti Che dan Qutb. Lembaga-lembaga pendidikan yang dipercaya untuk mencetak generasi perubahan justru melakukan pengkhianatan. Dalam realitasnya, Lembaga pendidikan tak lebih hanya usaha mencocokkan apa yang menjadi kebutuhan industri untuk disesuaikan dengan kurikulum (hal. 25).
Mungkin dapat ditemukan intelektual-intelektual yang tetap konsisten dengan asas kerakyatan, tetapi bukan di bangku sekolahan. Jikalau pun ada karena mereka menyempal dari tradisi baku dunia pendidikan yang mapan (hal. 69). Artinya, mereka tidak lagi terpaku dengan kurikulum pendidikan yang terbatas, tetapi meluangkan waktunya dengan belajar bersama petani, anak jalanan, buruh, maupun kelompok-kolompok marginal lainnya.
Pelajar-pelajar sempalan inilah yang kemudian sering menyuarakan aspirasi rakyat kepada pemerintah. Memperjuangkan nasib golongan bawah agar mendapatkan haknya sebagai manusia yang merdeka.
Meski buku ini tidak begitu tebal, tetapi dapat memberikan inspirasi bagi para intelektual untuk selalu bersikap kritis terhadap keadaan. Uniknya lagi, Gambar-gambar pejuang kiri, simbol politik, dan aksi-aksi protes nyaris ada di setiap halaman.
Semoga saja, cerita kekecewaan yang dilontarkan oleh Eko Prasetyo ini dapat menggugah jiwa-jiwa perlawanan yang selama ini dinina-bobokan oleh kepentingan politik dan uang. Dan bagi mereka yang berada di jalur kerakyatan semoga selalu konsisten dengan yang diperjuangkan.
Kemudian pesan yang tak kalah penting adalah untuk lembaga pendidikan agar selalu berorientasi mencetak ilmuwan-ilmuwan yang peka terhadap realitas sosial.
*) Aktivis IMM Sukoharjo


Reformasi Hukum Ketatanegaraan dan Bom Waktu Disintegrasi

Haryanto*
Judul : Negara Antara Ada dan Tiada: Reformasi Hukum Ketatanegaraan
Penulis : Denny Indrayana
Penerbit : Kompas, Jakarta
Tahun : I, Juli 2008
Tebal : xiv + 354 halaman
Gejolak dan perubahan dalam hukum ketatanegaraan di Indonesia berlangsung sangat cepat dan dinamis. Mulai dari soal presiden dan kabinet yang efektif, pemilihan umum yang demokratis, urgensi amandemen konstitusi, hingga persoalan seputar lembaga tinggi negara, seperti DPR dan Mahkamah Konstitusi.
Beragam bentuk perubahan hukum ketatanegaraan tersebut memiliki potensi yang bisa menjadikan Indonesia berada pada posisi yang rawan disintegrasi, apabila tidak didukung dengan kualitas sumber daya manusia yang mumpuni, dan lembaga-lembaga negara yang bisa mengoptimalkan fungsinya masing-masing.
Sejalan dengan hal itu, Francis Fukuyama dalam buku State Building: Governance and World Order in the Twenty-First Century (2005), menuturkan, bahwa negara-negara berkembang (termasuk Indonesia) biasanya berada dalam posisi gawat yang disebabkan oleh kegagalannya untuk membangun sebuah negara yang mampu menjalankan fungsi, kapabilitas, serta legitimitas pemerintahannya.
Sebenarnya kita bisa bercermin dari disintegrasi yang terjadi di India, karena lemahnya legitimitas permerintahan nasionalnya kemudian terpecah menjadi India dan Pakistan, sedangkan Pakistan terpecah lagi menjadi Pakistan dan bangladesh. Hal serupa juga terjadi di Yugoslavia, dimana reformasi konstitusi yang mendefinisikan konsep negara republik berdasarkan kriteria etnis, telah mengantarkan negara itu ke tengah konflik etnis yang paling berdarah.
Keambrukan seperti itu mengisyaratkan tentang begitu besarnya potensi disintegrasi pada sebuah bangsa ketika negara tidak mampu menjalankan fungsi, kapabilitas, dan legitimitas pemerintahannya; serta ketidakmampuan dalam merumuskan konsep konstitusi yang sesuai dengan kultur kebangsaannya. Denny Indrayana, melalui bukunya yang berjudul Negara Antara Ada dan Tiada: Reformasi Hukum Ketatanegaraan, mencoba untuk memperingatkan kepada kita semua bahwa Indonesia menyimpan ”bom waktu” disintegrasi akibat dari cepatnya perubahan hukum ketatanegaraan pasca reformasi.
Korupsi, Terorisime dan Disintegrasi
Menurunnya kepercayaan rakyat kepada mesin-mesin politik dan negara, apatisme masyarakat pada proses pemilihan kepala daerah (fenomena golput), dan minimnya ”kebersihan” di lembaga-lembaga negara (korupsi pejabat negara), merupakan indikator kuat bahwa bangsa ini sedang diambang perpecahan. Artinya, rakyat Indonesia sedang menyimpan api kemarahan rakyat yang besar akibat ketidakpercayaan terhadap proses demokratisasi yang sedang berjalan.
Konstitusi hasil perubahan (satu sampai empat) sebenarnya sudah lebih baik, tetapi praktik pelaksanaannya dibajak kepentingan politik jual-beli yang menggadaikan kepentingan utama rakyat. Semisal Pilkada yang seharusnya menjadi proses pemilihan pemimpin yang lebih demokratis, tetapi pelaksanaannya dibajak oleh praktik money politics. Begitu pula yang terjadi pada bangunan sistem kekuasaan kehakiman kita—dengan trisula Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial—sewajibnya lebih berwibawa, namun dihancurkan oleh praktik haram mafia peradilan.
Berangkat dari krisis itulah, Denny Indrayana, mengatakan bahwa ancaman terbesar disintegrasi yang membayangi proses reformasi Indonesia bukan lah dari gerakan separatis, bukan dari gerakan teroris, tetapi dari politisi oportunis yang menyimpan nafsu menguasai dan menumpuk kekayaan pribadi atau golongan (hal. 99).
Korupsi di sektor publik yang melibatkan para politisi oportunis, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif merupakan faktor utama yang merusak legitimasi pemerintah Indonesia. Hal tersebut bukan berarti bahwa korupsi yang dilakukan oleh kelompok pengusaha menjadi tidak berbahaya. Tetapi, dalam praktiknya, korupsi publik mempunyai daya rusak yang lebih tinggi karena pelakunya mempunyai kekuasaan resmi di pemerintahan, parlemen, dan pengadilan. Korupsi privat yang berbahaya adalah apabila korupsi yang berkarakter relasi kolusi antara penguasa (publik) dengan pengusaha (privat) (hal. 34).
Maka dari itu, di samping dorongan untuk menegaskan sistem bernegara yang sesuai dengan kultur keindonesiaan, yang jauh lebih penting adalah membenahi perilaku para pejabat negara yang korup agar bangsa ini benar-benar terhindar dari ancaman ”bom waktu” disintegrasi.
*) Aktivis IMM Sukoharjo

Meretas Jalan Kesempurnaan Manusia Beragama

Haryanto*))
Judul Buku : The Road to Allah: Tahap-tahap Perjalanan Ruhani Menuju Tuhan
Penulis : Jalaluddin Rakhmat
Penerbit : Mizan, Bandung
Cetakan : I, Oktober, 2007
Tebal : 335 halaman.
Setiap manusia beragama pasti mendambakan perjumpaan dengan Penciptanya. Karena keberadaan manusia di muka bumi ini pada hakikatnya sedang menuju kepada satu titik temu yang sama, yaitu menuju Tuhan. Sebagaimana yang difirmankan dalam kitabNya “Ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku. Kemudian, hanya kepada-Kulah kembalimu. Lalu Aku memberitahukan kepadamu apa yang telah engkau kerjakan (QS Luqman: 15).
Hanya saja, untuk menuju Tuhan, manusia beragama perlu mempersiapkan dirinya dengan matang. Agar kelak ketika terjadi perjumpaan dengan Tuhan, manusia beragama telah berada dalam kondisi yang bersih dan suci. Sebersih dan sesuci seperti masa awal ketika memasuki alam dunia yang fana.
Kesadaran untuk mempersiapkan diri dalam menuju Tuhan inilah yang sesungguhnya melatari Jalaluddin Rakhmat (Kang jalal) menuangkan gagasannya dalam buku: The Road To Allah: Tahap-tahap Perjalanan Ruhani Menuju Tuhan. Karena dampak dari kompleksitas kehidupan modern terhadap umat beragama telah mengaburkan fitrah spiritualitas manusia untuk mengasah ruhaninya.
Peta Perjalanan
Dengan bahasa lugas yang sarat makna, Kang Jalal mengurai peta perjalanan manusia beragama dalam menuju Tuhan melalui tiga tahap, yaitu tahap persiapan, tahap setelah memulai perjalanan, dan tahap akhir.
Ibarat musafir yang berkelana, mereka pasti membekali dirinya untuk pemenuhan kebutuhan dalam perjalanan, baik bekal yang berbentuk fisik, mental, maupun spiritual. Begitu pula bagi manusia beragama yang mempersiapkan perjalanannya menuju Tuhan juga harus membawa bekal yang cukup agar sampai kepada tujuan yang diinginkan. Disinilah tahap pertama dimulai.
Menurut tokoh yang mengaku non sektarian ini, bekal perjalanan menuju Tuhan adalah cinta. Cinta dalam arti kebersihan dan ketulusan hati. Cinta bukan dengan harapan agar dapat dicintai oleh Tuhan tetapi berorientasi untuk mencintaiNya. Maka dari itu, manusia beragama harus meletakkan seluruh hasrat kasihnya untuk menjalin percintaan kepada Tuhan, RasulNya, Ahlul Bait, serta kaum fakir dan miskin (hal. 41).
Disinilah letak kearifan pemikiran Kang Jalal. Beliau tidak meninggalkan peran sentral manusia sebagai khalifah (pengganti Tuhan) di muka bumi. Bahwa manusia memiliki tanggungjawab untuk saling tolong-menolong antar sesama, khususnya membebaskan kaum tertindas yang fakir dan miskin dari belenggu perekonomian dan kegersangan spiritual.
Pada tahap kedua, manusia beragama akan dihadapkan kepada rintangan yang dapat menggagalkan perjalanan menuju Tuhan. Rintangan tersebut adalah apa yang terdapat dalam setiap pribadi manusia itu sendiri, seperti takabbur, riya, ujub, dan ghibah. Untuk mengantisipasi rintangan-rintangan tersebut maka dibutuhkan kendali diri, kendali nafsu, memperbanyak zikir, dan berkhidmat kepadaNya.
Pada tahap ini, manusia beragama sebenarnya sedang menjalani proses pembersihan diri (self purification). Melepaskan segala “kotoran” dan “debu-debu duniawi” yang menempel di dalam hati. Dengan kata lain, pembersihan diri merupakan langkah untuk menuju kepada kesucian, dan dengan kesucian ini manusia beragama akan menyerap keindahan Asma Allah yang universal, yang dapat diimplementasikan dalam kehidupan nyata, seperti pengasih, penyayang dan pemaaf.
Proses pembersihan diri, bentuk konkretnya dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu: pertama, istighfar. Memohon ampun kepada Tuhan dari segala kesalahan dan dosa yang telah dilakukan. Kedua, bertobat. menanggalkan pola kehidupan di masa lampau (yang penuh dengan “kotoran” dan “debu-debu duniawi”) untuk kembali kepada jalan ke-Tuhan-an. Ketiga, beramal saleh. Semakin banyak beramal saleh maka semakin banyak pula bagian diri yang tersucikan. Semisal bersedekah, dengan bersedekah manusia dibersihkan dari egoisme atau sifat keakuan (hal. 105).
Kesempurnaan
Sedangkan pada tahap akhir, manusia beragama harus mewaspadai tingkat keberhasilan penyempurnaan dirinya agar tidak mengakhiri hidup dengan kondisi yang su’ul khatimah (akhir yang buruk). Karena su’ul khatimah adalah seburuk-buruknya tempat kembali manusia. Mereka yang tergolong di dalamnya adalah yang mengalami kehinaan setelah mengalami kemuliaan; menjadi kafir setelah beriman dan bertaqwa kepadaNya; dan meninggalkan dunia ini tanpa membawa keimanan atau meninggalkan dunia dalam keadaan berbuat dosa (hal. 314).
Agar tidak terjebak pada akhir yang buruk tersebut, maka para pencari Tuhan dapat melakukan tiga langkah: Pertama, menghindari segala perasaan cukup akan kesucian diri. Kedua, memandang penyucian diri sebagai sebuah jalan tanpa ujung, proses tanpa batas. Ketiga, senantiasa merendah di hadapanNya dan memohon agar diberikan husnul khatimah, akhir yang baik (hal. 307).
Di balik pengungkapan gagasan yang lugas dan sederhana, buku ini juga menampilkan nuansa yang penuh kesejukan, kedamaian dan kebahagiaan. Sehingga amat tepat jika dibaca oleh orang-orang yang sedang gelisah hatinya maupun yang tengah dilanda problematika hidup.
Lebih dari itu, sebagai buku yang bergenre ilmu agama (baca: tasawuf), Kang Jalal telah berhasil menampilkan sebuah konsep yang seimbang. Artinya, meskipun manusia beragama memiliki tujuan akhir kepada Tuhan, namun perilaku tolong-menolong antar sesama manusia, khususnya “mencintai” kaum fakir miskin, juga bagian dari prioritas terpenting agar manusia beragama dapat menggapai kesempurnaan.
*) Aktivis IMM Sukoharjo

Filantropi Politik

Qahar Muzakir*
Filantropi atau kedermawanan sosial merupakan wacana yang berkembang pesat di Indonesia. Mulai dari pemanfaatan ibadah agama sebagai filantropi, juga Corporate Social Responsibility sebagai filantropi perusahaan hingga menjelang pesta demokrasi pemilu 2009 juga memanfaatkan filantropi untuk meraup suara.
Filantropi ramai di bicarakan di Indonesia, karena di negara ini kemiskinan merupakan bagian dari keseharian sebagian besar rakyatnya. Semua pihak kemudian menggunakan istilah kedermawanan untuk menyembunyikan niatan yang sebenarnya. Meskipun saya tetap berkeyakinan masih banyak yang benar-benar memberikan dengan tangan kanannya tanpa harus diketahui tangan kirinya. Akan tetapi, selain kaya dengan korupsi, bangsa kita juga kaya dengan orang-orang yang narsis. Yang ingin diketahui amal baiknya oleh orang lain, ingin diketahui bahwa dirinya peduli terhadap penderitaan orang lain.
Kedermawanan sosial untuk membantu meringankan beban masyarakat-pun di gelar di mana-mana oleh aktivis politik. Untuk menunjukkan keseriusan bahwa partai mereka atau calon mereka peduli terhadap kondisi masyarakat; minimal di daerah pemilihannya sendiri. Dibungkus pelbagai alasan yang progresif untuk merubah kondisi kedepan, menanamkan harapan hingga meluapkan harapan hingga ke langit-langit untuk kembali dihempaskan ke bumi. Mati.
*) Aktivis IMM Sukoharjo
Tinggal di http://qahar.wordpress.com
January 17, 2009

Kegamangan Terhadap Agama

Qahar Muzakir*
Tak dapat dipungkiri bahwa pemikiran tokoh-tokoh sosial kritis memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pemikiran sebagian besar aktivis mahasiswa. Di satu sisi pemikiran mereka membuka cakrawala terhadap penindasan terselubung dan profesional yang terjadi dalam kehidupan keseharian kita; tetapi di sisi lain acapkali ditemukan justru menimbulkan kegamangan keyakinan teologis. Kegamangan tersebut diperkuat dengan fakta-fakta sosial bagaimana agama menjadi komoditas politik kekuasaan; korban eksploitasi ekonomi dan korban bencana diobati dengan bersabar dan terminologi tentang ujian keimanan; dan bagaimana praktik-praktik konflik sosial hadir justru atasnama menegakkan kebenaran agama. Dalam konteks sosiologis ini, benar yang disampaikan Marx bahwa agama itu candu. Candu yang melenakan dan membungkan masyarakat untuk memperjuangkan hak-haknya.
Agar tidak terjadi kesalahpahaman, penting untuk dipahami bahwa kenyataan sosiologis tidak dapat menjadi premis untuk menarik suatu kesimpulan mengenai kebenaran teologis. Maka kita harus menempatkan premis-premis fakta sosiologis, untuk menarik kesimpulan sosiologis. Bahwa praktik keagamaan yang dilakukan –secara sosiologis- justru menempatkan agama tidak sebagai risalah keselamatan yang mewujudkan keadilan, kesejahteraan dan perdamaian; tetapi justru menjadi kamuflase untuk melanggengkan kekuasaan, melicinkan jalannya eksploitasi ekonomi, membungkam upaya-upaya perjuangan hak, hingga menjadi legitimasi kebenaran ideologis terhadap tindak kekerasan terhadap kelompok yang berseberangan. Bahkan, kita juga perlu mempertanyakan peran pemuka agama yang merubah bulan Ramadhan sebagai pengekang hawa nafsu justru menciptakan masyarakat yang over-konsumtif. Fakta-fakta tersebut dapat digunakan untuk menarik suatu kesimpulan bahwa keyakinan manusia yang bersifat teologis belum mampu menghadirkan perilaku yang “benar” sesuai agama yang diyakini. Tetapi tidak untuk menarik kesimpulan bahwa aspek teologis agama tersebut yang tidak benar.
Fakta-fakta yang demikian dimungkinkan terjadi ketika agama dipahami dan ditempatkan sebatas sebagai sandaran dalam kehidupan. Menjadi sandaran manakala masyarakat tertimpa bencana untuk bersabar dan berdoa. Membangun refleksi moral tentang dosa dan ujian keimanan. Menjelang perhelatan pemilihan umum, bagaimana janji Tuhan akan merubah kondisi suatu masyarakat bila masyarakat mau merubah nasibnya sendiri menjadi legitimasi pengharapan baru yang ditanamkan oleh pemuka agama untuk mengarahkan suara massa dalam pencoblosan.
Tidak selayaknya menempatkan agama sebatas sandaran atau bahkan benteng pertahanan moral. Agama harus diajarkan, dipahamkan dan dibiasakan untuk menjadi motor penggerak sosial. Bukan motor penggerak untuk menebarkan kekerasan, melegitimasi eksploitasi atau modal-modal legitimasi kekuasaan politisi busuk; akan tetapi menjadi penggerak untuk menyuarakan kebenaran, menegakkan keadilan sosial dan berjuang mewujudkan kesejahteraan. Karena apa artinya keyakinan beragama ketika kebenaran-kebenaran risalah-Nya tidak mampu menjadi pendorong untuk berbuat kebaikan? Hanya menjadi alat pemuas pribadi untuk meyakinkan dirinya tentang surga? Bukankah itu berarti Tuhan telah mati (baca: dalam diri manusia) sebagaimana diungkap Nietzhe. Wallahua’lamu bi Shawab.
*) Aktivis IMM Sukoharjo
Tinggal di http://qahar.wordpress.com

Blog dan perlawanan

Qahar Muzakir*
Di negeri yang katanya demokratis ini, kritik dianggap sesuatu yang melanggar kesopanan. Merusak ketenteraman dan menambah masalah di tengah himpitan persoalan bangsa yang tak kunjung usai. Atas nama stabilitas dan “kepentingan bersama”, pemerintah dan pemodal menganggap para pengkritik layaknya pengganggu. Media seringkali turut menambah kuatnya keinginan pemerintah dan pemodal. Aksi kritik menempel poster diberitakan sebagai aksi yang hanya mengotori tembok. Aksi turun ke jalan adalah hal yang sia-sia dan justru membuat lalu lintas macet, mobilitas terganggu dan perekonomian terhambat.
Televisi hanya menyiarkan propaganda “kritik” sebagai bentuk kebebasan yang terkontrol. Benarkah tidak ada lagi pemuda yang berani lantang seperti Gie dan Wahib? Atau sosok Wiji Thukul? Saya justru meyakini masih ada dan semakin banyak!. Tapi suara mereka telah di bungkam dalam logika fungsional. Para redaktur surat kabar lebih senang memuat penulis yang “moderat” melihat persoalan kebangsaan, dengan dalih kompetensi penulis, wawasan dan kaidah penulisan. Apakah itu penting? Mungkin ya, dalam dunia akademis yang dingin dan kaku. Tapi sebagai kobar respon terhadap neo-tirani yang menindas rakyat, mereka hanyalah kumpulan pengecut yang di anggap telah jadi “orang” oleh budaya kita.
Masyarakat kita telah bebal dan menganggap korupsi, pejabat kotor, ketidakadilan dan kemiskinan adalah nasib menjadi Indonesia. Kritik yang sering mereka lihat dan dengar di tengah media justru dalam bentuk sindiran dan guyonan yang njawani. Penuh gelak tawa dan ketidakseriusan ala kaidah “kekeluargaan” dari puncak budaya jawa yang menjadi nasional.
Masyarakat harus di didik dengan lantang apa itu kritik dan sikap yang tegas!! Harus di biasakan membangun perlawanan, mulai hal terkecil urusan lampu jalan yang tak menyala hingga penjualan aset negara. Dari penguasaan lahan parkir oleh pengusaha hingga lahan alam yang beralih kepemilikan pada kaum modal.
Teriakkan yang bisa engkau teriakkan!! Karena saya menulis bukan karena cerdas, tapi karena lapar. Berani berteriak bukan karena bercita-cita pahlawan, tapi karena terhimpit keadaan. Berani bersikap bukan karena kesatria, tapi karena saya tahu sedang ditindas. Saya bermimpi, bahwa buruh kita, bapak petani kita, ibu pedagang kita, mbak penjahit, adik pengamen jalanan: Membuat Blog dan Berteriak Lantang tentang Hidup Mereka!! Agar terbuka mata hati yang telah melupakan kemanusiaan dan keadilan.
Mari kita kampanyekan hal ini. Bersama. Berjejaring. Bermimpi. Perubahan bukan hal yang tidak mungkin terjadi.
*) Aktivis IMM Sukoharjo
Tinggal di http://qahar.wordpress.com

Javasentris Sebagai Penghambat Sertifikasi Pendidikan

Haryanto*))
Ujian sertifikasi bagi guru telah dilakukan pertengahan bulan september lalu. Hasilnya ternyata tidak jauh berbeda dari prediksi sebelumnya, bahwa banyak dari peserta ujian yang tidak akan lolos seleksi. Dan memang demikian adanya, Kelulusan sertifikasi guru di Jawa Tengah yang paling rendah terjadi pada tempat ujian di Universitas Sebelas Maret (UNS). Dari 860 guru yang mengikuti sertifikasi, tingkat kelulusan sangat minim yaitu hanya 8,52 persen. Jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan ujian sertifikasi yang diselenggarakan di Univeristas Negeri Semarang (Unnes), dari 1.625 peserta, angka kelulusan mencapai 51 persen.
Kegagalan yang diderita oleh para guru dalam ujian sertifikasi tersebut tentunya bukan menjadi tolak ukur untuk menyatakan rendahnya kualitas tenaga pendidik. Harus dipahami bahwa syarat yang harus dipenuhi para guru untuk dapat lulus dalam ujian sertifikasi cukup berat.
Terdapat sepuluh persyaratan yang harus dipenuhi sebagai konsekuensi dari model penilaian portofolio. Penilaian portofolio merupakan pengakuan atas pengalaman profesional guru dalam bentuk kumpulan dokumen yang mendeskripsikan kualifikasi akademik, pendidikan dan pelatihan, pengalaman mengajar, perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran, penilaian dari atasan dan pengawas, prestasi akademik, karya pengembangan profesi, keikutsertaan dalam forum ilmiah, pengalaman organisasi di bidang kependidikan dan sosial, dan penghargaan yang relevan dengan bidang pendidikan.
Persoalan selanjutnya muncul, sebagaimana diberitakan oleh Solopos (5/10/2007) bahwa petunjuk pelaksanaan untuk mengikuti ujian sertifikasi baru datang beberapa hari menjelang masa pendaftaran. Dengan demikian, bagaimana mungkin para guru dapat menyelesaikan sepuluh syarat penilaian portofolio dalam waktu yang singkat, padahal beberapa syarat diantaranya juga harus menembus pintu birokrasi yang serba rumit.
Bagi mereka yang gagal memang diberikan kesempatan berikutnya untuk memenuhi syarat penilaian portofolio yang belum lengkap, atau dapat pula mengikuti diklat yang akan diselenggarakan nantinya.
Namun butuh dipahami, secara psikologis bagi guru-guru yang tidak lolos seleksi akan amat tertekan. Karena citra yang tertanam mengenai program sertifikasi guru adalah menjadikan guru berkualitas. Artinya, ketika tidak lolos seleksi secara tak langsung akan menempatkan diri mereka sebagai guru yang tak berkualitas.
Javasentrisme Pendidikan
Siapa pun mengetahui bahwa realitas pendidikan di Indonesia memiliki sifat javasentris. Artinya, pendidikan yang ada di pulau Jawa relatif lebih berkualitas jika dibandingkan dengan pendidikan di luar pulau Jawa. Kondisi ini paling tidak ditandai dengan berbondong-bondongnya putra-putra daerah non Jawa yang bersekolah ke Jawa, khususnya Jakarta dan Jogjakarta.
Timpangnya realitas pendidikan Jawa dengan non Jawa salah satu pemicunya adalah berangkat dari minimnya ruang-ruang untuk dapat mengakses informasi dan dialetktika kependidikan yang kurang berjalan dengan massif di kalangan pendidik atau antar lembaga pendidikan.
Persoalan ini seharusnya mendapat perhatian dari pemerintah pusat yang tengah menjalankan program sertifikasi pendidikan. Karena sesuatu yang mustahil untuk menyeragamkan kualitas guru di berbagai daerah di Indonesia. Dengan demikian kearifan lokal (local wisdom) seharusnya dapat menjadi tolak ukur utama untuk pelaksanaan program sertifikasi selanjutnya.
Kemudian untuk para guru yang tidak lolos sertifikasi hendaknya menyadari bahwa Sertifikasi merupakan sarana atau instrumen untuk meningkatkan kualitas kompetensi guru. Sertifikasi bukan tujuan, melainkan sarana untuk mencapai suatu tujuan, yakni keberadaan guru yang berkualitas. Sehingga tidak perlu risau dengan kegagalan, karena kegagalan adalah sebuah keberhasilan yang tertunda.
*)) Aktivis IMM Sukoharjo

SEJARAH FILSAFAT BARAT

Haryanto*))
Siapa yang tidak kenal dengan salah satu sebab yang melatar belakangi munculnya Ilmu Pengetahuan dan berbagai bidang lain dalam kehidupan manusia. Sesuatu yang selalu menjadi perdebatan para intelektualis dan selalu menjadi problematika kaum agamawan. Tetapi yang jelas wacana ini selalu aktual, tidak pernah habis termakan waktu dan tidak pernah sirna karena sempitnya ruang.
Filsafat merupakan sebuah langkah untuk mencari kebenaran atau kebajikan. Menurut Russell (2004 : xiii) filsafat adalah sesuatu yang berada ditengah-tengah antara teologi dan sains. Sebagaimana teologi, filsafat berisikan pemikiran-pemikiran mengenai masalah-masalah yang pengetahuan definitif tentangnya, sampai sebegitu jauh, tidak bisa dipastikan. Sedangkan sains, filsafat lebih menarik perhatian akal manusia daripada otoritas tradisi maupun otoritas wahyu. Tetapi diantara teologi dan sains terdapat sebuah wilayah yang tidak dimiliki oleh seorang manusia manapun, yang tidak terlindungi dari serangan di kedua sisinya, wilayah tak bertuan inilah yang disebut filsafat.
Pada awalnya (6 SM) Filsafat muncul di sebuah negeri yang penuh dengan pemujaan akan dewa-dewa, Zeus dianggap sebagai raja dari segala dewa. Yunani, sebuah negeri yang sangat kaya dengan karya-karya seni dan tentunya intelektual telah menjadi pelopor dalam perkembangan pemikiran kehidupan manusia.
Sekitar Abad ke-5 SM, Filsafat lebih cenderung kepada pemikiran yang berobjekkan alam semesta. Walaupun demikian bukan berarti menafikkan adanya pemikiran lain, tetapi secara universal hakikat alamlah yang selalu diresahkan oleh para Filosof generasi awal. Seperti Phytagoras menteorisasikan bahwa angkalah yang telah membentuk alam semesta. Sedangkan Heraklitus menganggap api yang terus menyala sebagai hakikat alam semesta sebagaimana dalam pernyataannya : dunia ini, yang sama bagi semuanya, bukan diciptakan oleh dewa atau manusia; tetapi dahulu, sekarang dan seterusnya adalah Api yang terus menyala, yang kadang berkobar dan kadang merebut. Selain Phytagoras dan Heraklitus, masih terdapat tokoh seperti Parmedides, Empedokles, Anaxagoras dll.
Seiring bergeraknya waktu dan perubahan zaman, pemikiran filsafat beralih objek dengan berkuasanya kaum agamawan (Kristen) di daratan eropa dan kejatuhan Roma. Pemikiran kritis terkikis sedikit demi sedikit, hanya yang dianggap sejalan dengan kebijakan gerejalah yang diadopsi. Pada masa inilah disebut dengan masa kegelapan barat atau matinya gerak pemikiran kritis.
Pada masa inilah ide-ide Yunani secara bertahap mengalami proses transformasi. Sebagian ide kuno, terutama yang dianggap bersifat sangat religius, menempati kedudukan yang relatif penting, sedangkan ide-ide lainnya yang lebih rasionalistik diabaikan karena tidak lagi sesuai dengan semangat zamannya. Dengan demikian, orang-orang pagan terkemudian memangkas tradisi Yunani hingga bisa disatukan dalam ajaran Kristen.
Selama 4 Abad lamanya (11-14 M) Gereja mendominasi arus pemikiran akhirnya juga harus runtuh dan mengakui sains sebagai raja baru. Gerakan reformasi menjadi tahap awal dari kehancuran hegemoni Gereja, lalu dilanjutkan dengan Renaissans di Italia. Astronomi Copernican memberikan sebuah bantahan telak kepada dogma Gereja dengan mengatakan bahwa pusat tata surya bukanlah bumi melainkan matahari.
Pemikiran kritis mulai tumbuh, dan filsafat kembali memainkan perannya pada masa ini, yang kemudian disebut masa modern Rene Descartes yang dianggap sebagai bapak Filosof modern memulai sebuah kerangka berfikir kritis dengan teorinya yang cukup terkenal yaitu cogito ergo sum (aku berfikir maka aku ada).
Periode modern jika diklasifikasikan terdapat dua kubu pemikiran yang saling bertentangan antara satu dengan lainnya. Pertama, empirisisme. Empirisisme mengacu kepada panca indra sebagai alat yang digunakan untuk mencari kebenaran ilmiah. Jika sesuatu tidak mampu dicerna melalui indra manusia maka itu tidak dapat diterima secara ilmiah. Kedua, rasionalisme. Pada rasionalisme tentu bertolak belakang dengan pendangan kaum empirisisme. Pada pemikiran ini lebih mngedepankan daya rasional ketimbang panca indra. Kant sebagai seorang tokoh rasionalis mengatakan bahwa pada prinsipnya segala sesuatu yang di dunia ini adalah tidak ada, tetapi semua itu ada karena persepsi manusia mengatakan itu ada.
Masa modern ternyata tidak juga memberikan sebuah kepuasan kepada manusia. Proses saling menklaim kebenaran antara kubu pertama dan kedua menciptakan kegelisahan lebih besar lagi bagi manusia.
Post modern, inilah dunia kita, Segalanya serba relatif dan menganggap tidak ada sebuah kebenaran universal yang diajukan oleh manusia. Segala konsep kebenaran memiliki rasionalitasnya masing-masing, sehingga tidak dapat dijustifikasi bahwa dia adalah orang/ komunitas yang menyimpang (salah).
Semuanya penuh dengan ketidak-jelasan dan ketidak-pastian. Segalanya diserahkan kepada setiap individu-individu untuk memilih, manakah yang dianggapnya sesuai.
Wallahu’alam bi shawab
*)) Aktivis IMM Sukoharjo

Di balik Kematian Sang Wartawan

Haryanto*))
Judul Buku : Sang Jurnalis
Pengarang : Heru Prasetya
Penerbit : Navila
Cetakan : Pertama, Januari 2005
Halaman : 166 halaman + xvii
Novel fiktif karya Heru Prasetya ini berjudul Sang Jurnalis. Karya ini terinspirasi dari kasus Udin, yang sampai sekarang kasusnya belum juga terungkap. Siapakah sebenarnya dalang dibalik pembunuhan Udin ?
Yudi, sebagai tokoh utama dalam buku ini, digambarkan sebagai seorang wartawan penuh semangat dan selalu memegang teguh prinsip-prinsip jurnalistik. Dia tidak mau menerima "amplop" (uang sogokan) dari siapapun, Yudi juga selalu menulis beritanya dengan "objektif" (tidak berpihak). Tetapi sialnya, idealismenya sebagai seorang jurnalis profesional, ternyata membawa Yudi kepada nasib buruk. Dipukuli di rumahnya sendiri oleh orang yang tak dikenal, dan akhirnya harus menjalani perawatan intensif di rumah sakit.
Pada awalnya ada lima orang bersaudara, tiga orang laki-laki dan dua orang perempuan mendatangi rumah Yudi. Kemudian mereka bercerita tentang problematika tanah warisan orang tua mereka yang tinggal lima hektar saja. Padahal, orang tua mereka mengatakan bahwa ia akan mewariskan tanah seluas sepuluh hektar kepada anak-anaknya. Dan anehnya lima hektar tanah sisanya kini dimiliki oleh pak Wignyo, seorang mantan lurah desa tersebut.
Dari laporan tersebut, Yudi melakukan investigasi lapangan dengan melakukan wawancara dengan pihak-pihak yang terkait dengan kasus tersebut. Setelah dianggap cukup data yang ia peroleh, akhirnya ia pun menulis dengan objektif, tanpa menutup-nutupi apapun yang menjadi fakta di lapangan. Ternyata berita yang ditulis tersebut menyinggung pak Wignyo, karena dalam berita tersebut mengindikasikan bhwa tanah kelima bersaudara tersebut diambil alih oleh pak Wignyo.
Oleh karena itu mantan lurah tersebut menjadi kalap, dia menyewa orang untuk memata-matai Yudi dan juga memanggil kelima bersaudara hadir ke rumahnya untuk diinterogasi perihal kasus tersebut. Mereka diintimidasi dan juga diberikan uang suap agar tidak menindak lanjuti masalah tanah itu. Tetapi kelima bersaudara tetap bersikeras untuk menindak lanjuti kasus itu dengan melaporkannya ke kantor kepolisian untuk mengungkapnya.
Ini merupakan salah satu hasil dari penyelidikan investigatif yang dilakukan oleh Yudi. Sebetulnya masih ada beberapa kasus yang di tulis dalam novel ini perihal penyelidikan yang dikerjakan oleh Yudi. Seperti kasus perjudian pejabat pemerintah yang juga berindikasi adanya keterlibatan salah seorang wartawan di perusahaan pers tempat Yudi bekerja.
Dari kasus-kasus tersebut sepertinya ada saling keterkaitan dengan tindak kekerasan yang dialami oleh Sang Jurnalis.
Buku ini cukup baik dikonsumsi, apalagi oleh orang-orang yang bergelut dalam dunia pers. Karena ini dapat dijadikan pelajaran agar menjadi wartawan yang profesional dalam pengemasan berita. Dan tentunya mengambil semangat idealisme yang dibawa oleh Yudi, Sang Jurnalis.
*)) Aktivis IMM Sukoharjo

Reorientasi Gerakan Mahasiswa

Haryanto*))
Mahasiswa sebagai pioner perubahan di negeri ini seharusnya tak hanya memfokuskan aksinya dalam persoalan sosial, politik dan hukum saja. Namun, setiap bentuk persoalan yang menyangkut eksistensi manusia juga harus mendapatkan perhatian, misalnya, mengenai beragam bencana yang ditimbulkan oleh global warming (pemanasan global).
Pemanasan global adalah ancaman terbesar manusia saat ini, bahkan melebihi ancaman teror, kemiskinan, maupun korupsi. Karena, terkait dengan kehancuran bumi secara total yang menjadi tempat bernaungnya umat manusia. Oleh karena itu, pemanasan global sebenarnya dapat disejajarkan dengan persoalan nuklir yang juga sedang melanda bangsa-bangsa di dunia.
Dalam hal ini, mahasiswa dapat memposisikan perannya sebagai moral force (kekuatan moral) terhadap laju pembangunan bangsa. Mengadakan protes keras terhadap proses penggundulan hutan secara sistemik-terorganisir dan mendesak pemerintah agar menerapkan pembentukan ruang tata kota yang sehat dan ramah lingkungan.
Untuk menuju kesana, mahasiswa perlu terlebih dahulu membangun kesadaran bersama mengenai pentingnya mewujudkan gerakan pro lingkungan. Memasifkan issu-issu lingkungan ke seluruh elemen mahasiswa (baik internal maupun eksternal) dan ke setiap daerah agar pola gerakan pro lingkungan dapat berjalan secara terorganisir dan serentak.
Seandainya mahasiswa cerdas dalam melakukan analisis terhadap persoalan lingkungan, sebenarnya dapat ditarik ke dalam pusaran utama musuh mahasiswa, yaitu neo liberalisme. Sebab, latar belakang yang mengakibatkan terjadinya pemanasan global adalah berangkat dari eksploitasi besar-besaran terhadap sumber daya alam demi kepentingan ekonomi semata.
Dengan demikian, gerakan mahasiswa tetap dapat menghantam neo liberalisme, tetapi dikemas dalam bentuk gerakan penyelamatan lingkungan. Artinya, reorientasi gerakan mahasiswa hanya berada pada level pemberdayaan issu strategis, tetapi common sense (musuh bersama) yang dapat menyatukan seluruh elemen mahasiswa tetap dipertahankan.
*)) Aktivis IMM Sukoharjo

Megawati vs SBY

Haryanto*))
Pemilihan Presiden secara langsung merupakan ajang kompetisi politik yang hasil akhirnya amat ditentukan oleh tingkat popularitas para kompetitor di masyarakat pemilih. Maka, ketika masyarakat secara umum telah men-just seorang kompetitor dengan citra negatif dan ketiadaan wibawa maka kemungkinan untuk terpilih menjadi semakin kecil.
Sehingga tak heran jika banyak tokoh bangsa yang telah merencanakan dirinya untuk berkompetisi pada pilpres 2009 mendatang berusaha untuk menggenjot popularitasnya ke publik. Taruhlah mengenai fenomena maraknya iklan politik yang disiarkan oleh media massa merupakan salah satu upaya cerdik para tokoh politik untuk menaikkan citra positif agar dikenal masyarakat secara luas.
Namun, popularitas seorang tokoh politik tak hanya ditentukan oleh sejauh mana dirinya dikenal oleh masyarakat. Tetapi, latar belakang sosial-politik juga amat menentukan tingkat popularitas seorang tokoh politik dalam menghadapi pemilihan presiden secara langsung, seperti tingkat loyalitasnya kepada masyarakat, dan sejauh mana pengaruh kebijakan-kebijakan politik yang pernah ditelurkannya selama dirinya berada dalam struktur pemerintahan.
Berdasarkan survei terbaru Indo Barometer dengan 1.200 responden mengenai tingkat popularitas calon presiden, telah menempatkan Megawati pada urutan teratas dengan 30,40 persen suara, lalu disusul dengan Susilo Bambang Yudhoyono dengan 20,70 persen, Wiranto 9,30 persen dan seterusnya (Sindo, 30/06/2008).
Hasil survei tersebut berbanding terbalik dengan hasil survei Indo Barometer pada bulan Desember 2007, dimana SBY menduduki urutan teratas dengan 38,1 persen suara dan Megawati berada jauh di bawahnya.
Sebenarnya, menurunnya popularitas SBY di mata masyarakat merupakan sesuatu yang wajar ketika memperhatikan kondisi kepemimpinan SBY dan realitas sosial-politik yang terjadi dalam beberapa bulan terakhir. Di antara yang paling mengeroposkan popularitas SBY adalah terkait kebijakan menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) yang berbuntut demontrasi keras gerakan mahasiswa dan hak angket DPR.
Efek real dari kenaikkan harga BBM yang mempengaruhi kehidupan masyarakat berekomomi menengah ke bawah—yang jumlahnya masih cukup besar di Indonesia—tentunya membuat masyarakat resah dan menilai pemerintahan yang dinakhodai oleh SBY tidak lagi mampu mengantarkan bangsa Indonesia ke arah yang lebih baik.
Adalah Megawati, yang semenjak awal memposisikan dirinya sebagai oposisi loyal atas pemerintahan SBY kemudian mendapat untung besar dari mengeroposnya popularitas SBY. Popularitas Megawati meroket.
Meski demikian, hasil survei Indo Barometer yang masih dini tidak menjadi ukuran bahwa Megawati akan memenangkan Pilpres 2009 mendatang. Karena latar belakang politik Megawati sebenarnya tak jauh berbeda dengan SBY dalam hal kebijakan menaikkan harga BBM.
Ketika Megawati memerintah Indonesia pada periode 1999-2004 tercatat telah dua kali mengambil kebijakan menaikkan harga BBM yang dampak negatifnya juga amat besar mempengaruhi kehidupan masyarakat.
Lagi-lagi semuanya amat bergantung dengan kecerdasan masyarakat pemilih dalam merasionalisasi tokoh politik yang akan berkompetisi pada pilpres 2009 mendatang. Besar harapan kita bahwa masyarakat tak akan lagi salah dalam menentukan pilihannya.
*)) Aktivis IMM Sukoharjo

PENDIDIKAN UNTUK MASYARAKAT BERPOTENSI PKL

Haryanto*))
Fenomena PKL di negeri kita sudah seperti tradisi dagang perkotaan turun-menurun yang mengakar dan sangat sulit diberantas. Diantara motif utama yang melatarbelakanginya adalah keterpurukan perekonomian bangsa, dan rendahnya kualitas pendidikan yang digalakkan pemerintah sehingga berdampak pada minimnya daya kreatifitas masyarakat. Biasanya, langkah yang ditempuh untuk melenyapkan PKL adalah dengan melakukan penggusuran atau penghancuran warung-warung di pinggir jalan tanpa melakukan dialog terlebih dahulu (sekedar surat pemberitahuan). Hasilnya, langkah demikian selalu tidak efektif, karena pedagang kecil ini akan terus berpindah ke tempat lain yang dianggap mampu memberikan penghasilan lebih demi mempertahankan eksistensi hidup di daerah perkotaan.
Di kota kita tercinta, Pemkot mencoba melakukan tindakan yang sama tetapi dengan cara yang lebih halus. Merelokasi PKL di sekitar monumen 45 (mulai merambah ke wilayah lainnya) yang direncanakan sebagai wisata budaya, ke pasar klitikhan Notoharjo Semanggi. Memang, pedagang pinggiran ini diberikan tempat bebas biaya, dan akan mendapatkan kucuran dana dari menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (KUKM) sebesar Rp. 5,09 M (Solopos, 27/07). Tetapi, apakah pemberian ini menjadi jaminan para PKL tidak akan kembali lagi ke tempat semula? Sebab bagi para PKL, wilayah monumen 45 adalah lahan strategis untuk memperoleh keuntungan dari usaha dagang, sedangkan pada tempat yang baru belum tentu menghasilkan keuntungan yang sama.
Sebagai upaya penanggulangan dalam proyek jangka panjang, tentulah bukan sekedar melakukan antisipasi agar para PKL yang telah direlokasi tidak kembali ke wilayah sekitar monumen 45, tetapi yang lebih urgen adalah memberikan perhatian penuh kepada masyarakat yang berpotensi menjadi PKL. Artinya, usaha pemutusan regenerasi PKL adalah tujuan utama ketimbang mengantisipasi para PKL yang sudah ada. Sebab, sederet masyarakat kota lainnya sedang mengantri menunggu giliran menjadi pedagang-pedagang pinggiran baru.
Memang tidak mudah merealisasikan strategi ini, tetapi bukan mustahil. Diperlukan komitmen penuh dari Pemkot Solo dan dukungan dari segenap masyarakat serta keaktifan PKL itu sendiri. Dalam mewujudkan agenda mulia ini tentunya bukan dilakukan dengan upaya-upaya yang tidak manusiawi (kekerasan) melainkan dengan cara-cara mencerdaskan melalui kegiatan pendidikan rakyat.
Makna pendidikan rakyat yang dimaksud tidak seperti kegiatan belajar-mengajar sebagaimana yang biasa diterapkan pada sekolah-sekolah formal, malainkan cukup dengan memberikan pembekalan tentang pengembangan potensi kreatifitas yang telah dimiliki oleh masyarakat yang berpotensi menjadi PKL, kemudian diarahkan untuk memanfaatkan potensi tersebut agar lebih bernilai dari sekedar berdagang a la PKL. Idealnya, pemerintah juga diharapkan mampu memberikan lapangan pekerjaan sementara untuk masa peralihan. Memang pengharapan demikian sepertinya sangat utopis jika melihat kondisi pemerintah kita saat ini, tetapi untuk program jangka panjang agenda pembentukan lapangan pekerjaan sementara mesti dilakukan jika pemerintah benar-benar ingin menghapuskan fenomena PKL.
Pra dan Pasca Pendidikan rakyat
Sebelum memasuki lebih dalam mengenai kerangka teknis pendidikan rakyat, terdapat pra syarat penting yang mesti dilakukan. Yaitu, mengadakan dialog antara calon peserta pendidikan (PKL dan masyarakat berpotensi PKL) dengan pemerintah. Maksud dari dialog ini adalah untuk melakukan pemetaan potensi kreatifitas apa saja yang telah dimiliki rakyat. Jadi, pelaksanaan pendidikan tidak serta-merta dilakukan secara sepihak, tetapi dengan berembug bersama sebagai pengamalan nilai-nilai demokrasi bangsa, dan yang terpenting adalah untuk menghindari pengadaan pendidikan yang tidak dibutuhkan oleh rakyat.
Sedangkan upaya yang harus dilakukan pasca pendidikan rakyat adalah: pertama, melakukan pendampingan kerja. Fungsi dari melakukan pendampingan adalah sebagai pemantauan tentang sejauh mana tingkat keberhasilan pendidikan yang telah diselenggarakan, sehingga memudahkan tahap evaluasi dan perbaikan-perbaikan yang dianggap perlu dilakukan sebagai nilai tambah pendidikan. Selain itu, model pendampingan juga difokuskan sebagai tempat konsultasi para pedagang jikalau mengalami kesulitan ketika mengoperasikan usahanya.
Kedua, memberikan pinjaman finansial. Dalam pembentukan usaha, penguasaan kreatifitas saja tidaklah cukup jika tidak disokong dengan modal yang memadai. Maka dari itu, setelah masyarakat mengikuti program pendidikan rakyat, pemerintah perlu memberikan pinjaman modal usaha. Tetapi, pinjaman ini tidak semata-mata diberikan tanpa pertimbangan, harus melalui prosedur-prosedur tertentu dalam batas dapat saling menguntungkan. Prosedur yang dimaksud juga akan menghindarkan jika terdapat masyarakat yang akan mengambil kesempatan untuk melakukan praktek penipuan dengan kedok masyarakat berpotensi PKL.
Sekali lagi, agenda pendidikan rakyat sebagai antisipasi terhadap fenomena PKL adalah proyek jangka panjang yang membutuhkan berbagai persiapan. Penting kiranya mendialogkan gagasan ini (jika disepakati) kepada dewan dan segenap masyarakat dalam skala luas. Sehingga dukungan sepenuhnya dapat diberikan oleh setiap elemen masyarakat, dalam tahap penyelenggaraannya-pun dapat berjalan dengan lancar terkendali.
*)) Aktivis IMM Sukoharjo

Gubernur Ideal Tergantung Kecerdasan Masyarakat

Haryanto*))
Pemilihan Gubernur merupakan momentum terpenting yang menjadi titik awal perubahan sebuah propinsi. Karena mereka yang nantinya terpilih dalam Pilgub akan menjadi penguasa, yang dengan segenap otoritasnya dapat mempengaruhi struktur kehidupan masyarakat melalui kebijakan-kebijakan yang diambilnya.
Dengan demikian Pilgub Jateng yang akan diselenggarakan pada Juni 2008 mendatang sudah seharusnya mendapatkan sosok pemimpin yang mampu mengambil kebijakan yang pro rakyat. Karena Jateng sebagai salah satu propinsi terbesar di Indonesia merupakan poros kepemimpinan nasional dalam mengemban visi kebangsaan sebagaimana yang termaktub dalam amanah UUD 1945.
Dalam sistem pemerintahan demokrasi, pola pemilihan amat bergantung dengan banyaknya perolehan suara. Sehingga partai politik yang memiliki massa besar akan sangat efektif untuk menjadi kendaraan dalam mensukseskan perjalanan seseorang ke tampuk kekuasaan.
Hingga saat ini, di Jawa Tengah terdapat tiga partai politik besar yang berhak atas paket calon gubernur dan wakil gubernur karena mendapat suara mencapai ketentuan 15 persen pada Pemilu sebelumnya, yaitu PDIP, Golkar dan PKB. Meski demikian, bukan berarti calon yang diusung di luar partai tersebut tidak memiliki kemungkinan untuk menang.
Hasil survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI) pada Juli 2007 menyebutkan peluang dari delapan kompetitor cagub yang akan berlaga pada Pilgub mendatang adalah Mohammad Tamsil sebesar 10,0 persen, Bambang Sadono sebesar 9,8 persen, Sukawi Sutarip sebesar 6,4 persen, Muladi sebesar 3,6 persen, Slamet Efendi Yusuf sebesar 3,2 persen, Budi Santoso sebesar 2,5 persen, Bibit Waluyo sebesar 2,3 persen, dan Ali Mufiz sebesar 2,3 persen.
Jebakan Politik
Terwujudnya pemimpin ideal yang dapat membawa Jateng ke arah yang lebih baik tentunya akan sangat ditentukan oleh aspirasi masyarakat pada saat pemilihan berlangsung. Masyarakat jangan sampai tertipu dengan janji-janji politik yang dilakukan pada masa menjelang pemilihan, apalagi terbujuk dengan rayuan uang.
Ketika jebakan-jebakan politik telah memerangkap masyarakat dalam melakukan pemilihan, maka keinginan untuk mendapatkan pemimpin ideal pun hanya sekedar ilusi. Sudah saatnya masyarakat menjadi lebih cerdas agar tidak terjebak dalam perangkap politik tersebut.
Dalam hal ini, ada beberapa hal yang mesti diperhatikan oleh masyarakat mengenai karakter pemimpin Jateng adalah:. Pertama, pemimpin Jateng adalah mereka yang mampu mengambil kebijakan dengan berlandaskan kepentingan umum yang semata-mata ditujukan untuk mewujudkan keadilan, kesejahteraan dan kemakmuran bagi masyarakatnya. Kedua, Pemimpin yang dapat memanfaatkan potensi budaya yang melimpah, seperti bahasa, artefak, candi, maupun adat istiadat yang selama ini semakin terpinggirkan oleh budaya global. Ketiga, Pemimpin yang dapat mengolah sumber daya alam (SDA) dan sumber daya manusia (SDM) secara efektif sehingga dapat memberikan manfaat bagi masyarakat dengan tidak merusak keseimbangan alam. Keempat, Pemimpin yang dekat dengan rakyat. Kelima, Pemimpin yang memiliki visi masa depan (Vision of the Future) dengan prasyarat harus memiliki kapabilitas wawasan global atau global mindset.
Semua itu memang amat bergantung dengan kecerdasan masyarakat dalam melakukan penilaian terhadap calon-calon gubernur yang akan berkompetisi dalam Pilgub. Kecerdasan dalam arti mengedepankan sikap kritis, rasional dan selektif.
Dengan demikian, masyarakat tidak semata-mata dijadikan objek dalam momen Pilgub, tetapi menjadi subjek yang sebebas-bebasnya dapat menentukan siapa yang akan menjadi pemimpinnya. Kemudian yang lebih penting lagi, masyarakat akan merasa lebih bertanggungjawab terhadap perjalanan kepemimpinan pemerintahan propinsi Jawa Tengah sehingga dapat menjadi kontrol yang kuat dalam mengawal kepemimpinan pasangan gubernur terpilih dalam menjalankan program-programnya selama satu periode.
*)) Aktivis IMM Sukoharjo

Pendidikan Jangan Tabrak Prinsip Demokrasi

Haryanto*))
Kita semua bersepakat bahwa menyejahterakan guru adalah suatu keharusan, terutama menjadi tanggungjawab pemerintah sebagai pemegang otoritas kekuasaan dalam negara. Paling tidak guru dapat lebih berkonsentrasi menjalankan perannya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa melalui jalur pendidikan.
Peningkatan kesejahteraan tentunya bukan hanya menyangkut guru secara personal, tetapi juga dalam keluarga—termasuk anak. Karena keluarga merupakan bagian yang tidak mungkin dipisahkan dari kehidupan guru sehari-hari, selain mengajar di lembaga pendidikan.
Sebenarnya, peran ganda (sebagai guru sekaligus bagian dari keluarga) inilah yang terkadang sulit untuk disikapi sehingga tidak jarang muncul kasus-kasus yang dilematis. Sebagaimana yang belakangan ini mencuat ke permukaan adalah mengenai pemberian kursi bagi anak guru tanpa seleksi pada lembaga pendidikan tertentu. Di satu sisi, keinginan tersebut disinyalir sebagai bagian dari proses penyejahteraan guru, tetapi di sisi yang lain justru dianggap melanggar nilai keadilan.
Untuk menjawab persoalan dilematis tersebut, kita dihadapkan kepada Undang-Undang no. 14/2005 pasal 15 dan 19 tentang guru dan dosen, yang sampai saat ini penjelasannya masih multi interpretatif (Solopos, 7/7). Oleh dari itu, keputusannya akan sangat bergantung kepada logika dan kearifan berpikir siapa yang menafsirkan UU tersebut.
Sebagaimana yang tertuang dalam preambule UUD 1945 bahwa salah satu amanah pendirian negara ini adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Artinya, setiap orang memiliki hak yang sama untuk mendapatkan pengajaran dalam lembaga pendidikan, tanpa pembedaan. Pernyataan tersebut sebenarnya dapat kita tarik dalam konteks pemberian kursi bagi anak guru pada sekolah tertentu. Bahwa anak guru juga bagian dari masyarakat Indonesia yang memiliki hak sama dalam pendidikan. Memprioritaskan salah satu antara anak guru dan non guru adalah sama halnya dengan mengkhianati amanah yang tertuang dalam preambule UUD 1945, dan tentunya juga menabrak prinsip demokrasi, keadilan.
Sekarang tinggal mekanisme apa yang akan diterapkan oleh lembaga pendidikan agar hak-hak mendapatkan pendidikan bagi masyarakat dapat terlaksana dengan seadil-adilnya, tanpa diskriminasi.

Konsisten Dengan Sistem PSB online
Dalam sistem seleksi penerimaan siswa baru yang mutakhir kita telah mengenal, bahkan menerapkan sistem PSB online. Sistem ini memberikan kesempatan kepada pendaftar (calon siswa) untuk menentukan empat pilihan sekolah yang akan dimasukinya. Diterima atau tidaknya pendaftar akan sangat bergantung kepada nilai akhir yang didapatkan pada saat pendidikannya yang paling akhir dan kecermatannya dalam memilih, bukan status apa yang disandangnya—anak guru atau bukan.
Jika kita ingin konsisten dengan sistem PSB online, sebenarnya sistem ini telah mampu menjawab persoalan di atas, mengenai siapa yang berhak mendapatkan kursi dalam sekolah. Karena dalam sistem PSB online telah menerapkan pola persaingan bebas yang siapa pun mendapatkan peluang sama dengan tidak mendiskriminasikan atas dasar status.
Jadi, kata kuncinya adalah keadilan. Sehingga upaya untuk menyejahterakan guru tidak selayaknya menabrak prinsip yang paling urgens dalam sistem demokrasi tersebut. Sebenarnya, jika anak guru memang benar-benar memiliki kemampuan dan kecerdasan, tentu memilih sekolah bukanlah sebuah permasalahan serius. Jika memang tetap memaksa, kita justru berbalik tanya, apakah anak seorang guru tidak mampu bersaing secara bebas dengan anak-anak lainya dalam mendapatkan sekolah?
*)) Aktivis IMM Sukoharjo

Revitalisasi Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Dalam Perspektif Islam Untuk Pencerahan Peradaban

Haryanto*)
Peradaban, atau dalam bahasa Inggris disepadankan dengan istilah civilization merupakan khasanah pengetahuan dan kecapakan teknis yang meningkat dari angkatan ke angkatan dan sanggup berlanjut terus . Melihat pengertian tersebut terdapat dua point penting yang dapat ditarik. Pertama, pondasi peradaban adalah ilmu pengetahuan. Hamid Fahmi Zarkasy dengan gaya determinismenya mengungkapkan bahwa kerja-kerja intelektual dan keilmuan merupakan dasar yang akan melahirkan aktifitas politik, sosial, ekonomi, dan aktifitas kultural lainnya. Atau dengan kata lain, konsep-konsep keilmuan membentuk suatu sistem dan super sistem yang disebut dengan world view (pandangan hidup/ pandangan alam).
Senada dengan apa yang diungkapkan oleh Murtadha Muthahhari dalam bukunya yang berjudul Islam dan Tantangan Zaman bahwa setiap fenomena yang ada pada setiap zaman merupakan buah dari akal dan ilmu pengetahuan . Uniknya, Muthahhari justru menegaskan pada zaman ini bukanlah masa ilmu pengetahuan melainkan masa pemenjaraan dan eksploitasi ilmu pengetahuan, karena ilmu pegetahuan pada saat ini berada di bawah bayang-bayang nafsu syahwat yang bisa menyesatkan. Kemudian beliau memberikan beberapa contoh seperti penyalahgunaan ilmu kimia untuk menghancurkan umat manusia dengan senjata pemusnah, dan hasil teknologi perfiliman yang menampilkan tayangan-tayangan amoral.
Kedua, tidak ada satu peradaban pun yang dapat tumbuh berkembang dengan sendirinya tanpa bersandar kepada peradaban sebelumnya yang pernah ada. Entah itu melaui proses adopsi, seleksi, ataupun dekonstruksi-rekonstruksi. Biasanya untuk menghindari citra negatif maka para manusia pengisi peradaban sering mengunakan istilah meminjam.
Dalam sejarah dunia kita mengenal beberapa peradaban yang pernah eksis dan lebih unggul dibandingkan peradaban lain pada zamannya. Peradaban India-Hindu (-), peradaban Mesir (-), Peradaban Cina (-), peradaban Yunani (5 SM-3 M), peradaban Islam (7M-13M), peradaban Barat-Kristen (-), dan peradaban Barat Modern (14M-sekarang). Kesemua peradaban yang pernah dominan tersebut ditandai dengan capaian IPTEK, kecuali peradaban Barat-Kristen yang lebih menitik beratkan kepada hegemoni kekuasaan agama (gereja).

Peradaban Islam

Harun Nasution mengklasifikasikan peradaban Islam ke dalam tiga periode, yaitu klasik (650 M-1250 M), pertengahan (1250 M-1800 M), dan modern (1800 M-sekarang). Pada periode klasik Islam mencapai puncak kejayaan dan sekaligus awal dari keterpurukan dengan klimasnya pada saat penyerbuan bangsa Mongol yang dipimpin Hulagu Khan pada tahun 1258 M. Sedangkan periode pertengahan merupakan periode kemunduran yang ditandai dengan desentralisasi dan disintegrasi, walaupun beberapa bidang keilmuan masih tetap berjalan namun lebih kepada penyikapan terhadap keilmuan yang pernah ada sebelumnya .
Ketika memasuki akhir abad ke 18 M hingga awal abad 19 M, corak pemikiran Islam mulai merambah ke tahap "pembaharuan" (modern) yang dirintis oleh beberapa tokoh, seperti Thahtawi, Jalaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, Muhammad Rasyid Ridha, dll. Dalam naungan pemikiran mereka Islam mulai bergerak dari stagnasi intelektual menuju pencerahan. Melawan segala bentuk kejumudan internal dan penjajahan imperialisme yang semakin akut memporak-porandakan peradaban Islam. Tetapi nyatanya belum juga mampu mengangkat peradaban Islam ke tingkat peradaban dominan.
Mungkinkah sebuah peradaban (Islam) yang telah runtuh akan mampu bangkit kembali? Mengingat tidak pernah ada satu peradaban pun di dunia ini yang mengalami kebangkitan kembali pasca keruntuhan. Mungkin sebuah pertanyaan pesimis, tetapi dari sini kita akan dapat mengukur sejauh mana kekuatan yang dimiliki umat Muslim untuk membangun peradabannya kembali. paling tidak umat Muslim tidak ego mengatakan dirinya sebagai peradaban besar tetapi tidak memperhatikan bagaimana amunisi yang dimilikinya. Memiliki kesadaran penuh tentang bagaimana realitasnya pada masa ini.
Maka dari itu, penting bagi umat Muslim untuk menengok ke belakang menyelami warisan peradaban Islam pada masa klasik. Sebagaimana yang juga didengungkan oleh Hassan Hanafi, Muhammad Abid al-Jabiry, dan Muhammad Imarah untuk selalu memperdalam khasanah keilmuan Islam klasik. Namun yang butuh disadari, keilmuan klasik tidak semata-mata untuk dipuja seakan suci tiada cacat, tetapi untuk dikembangkan sehingga mapu menjawab tantangan di setiap zaman, atau biasa disebut dengan agenda Al-turats wa tajdid (tradisi dan pembaharuan).
Realitas Umat Muslim Kontemporer
Kebanyakan umat Muslim masih mencoba untuk memaksakan teks kepada realitas, yang sebenarnya pemahaman akan teks tersebut belum tentu sesuai dengan realitas yang terjadi. Atas kondisi ini maka dapat diklasifikasikan ke dalam sepuluh problematika antara teks dan realitas, yaitu: Pertama, teks bukanlah realitas, ia hanya deskripsi linguistik tentang realitas; maka ia tidak menjadi bukti tanpa kembali ke landasannya dalam realitas. Kedua, teks mensyaratkan iman terhadapnya, masalahnya siapa yang beriman pada teks itu. Ketiga, teks terletak pada otoritas kitab, bukan pada otoritas akal. Bukti tentang otoritas bukanlah bukti. Keempat, teks adalah bukti bagian luar yang datang dari luar realitas. Kelima, teks membutuhkan penafsiran atas sauhnya; tapi tidak akan ada arti yang benar bagi suatu teks tanpa sauh ini. Keenam, teks bersifat sepihak (unilateral), dan ia bersandar pada banyak hal dari teks-teks lain. Ketujuh, teks bersandar pada pilihan, pilihan mengikuti kecenderungan dan kepentingan. Kedelapan, kondisi- kondisi sosial dari penafsir adalah dasar dari pilihan atas teks. Kesembilan, teks mengacu pada keyakinan masyarakat, pujian dari perasaan-perasaan keagamaan orang yang berlebihan dan pengakuan dari lawan. Kesepuluh, metode teks lebih dekat pada peringatan dan bimbingan, ia mempertahankan Islam sebagai suatu prinsip dari pada kaum Muslim sebagai ummah.
Selain permasalahan tersebut, umat Muslim juga menghadapi tiga kekuatan besar yang selalu merongrong eksistensi Islam, yaitu imperialisme, zionisme, dan kapitalisme. Kemudian permasalahan krusial lain yang berada didalam adalah kemiskinan, penindasan, dan keterbelakangan.
Imperialisme
Imperialisme merupakan masalah yang membakar dan dapat dianggap sebagai Perang Salib baru. Imperialisme sekarang adalah cara petualangan ekonomi multinasional dan westernisasi kebudayaan. Dalam hal budaya, imperialisme mematikan semangat kreatif bangsa-bangsa, dan mencabutnya dari akar sejarah.
Selain itu, basis militer asing juga tersebar di berbagai belahan dunia Arab, dari Maroko sampai Timur Arab, kemudian sejumlah bangsa Muslim tetap berada di bawah pengaruh super power. kekayaaan dunia Islam masih berada di bawah tangan-tangan perusahaan monopolistik, dan mengimpor pengetahuan ilmiah dari Barat. Dan yang paling berbahaya adalah imperialisme budaya. Barat menginginkan agar warisan historis bangsa-bangsa melemah, kemampuan kreatifnya dibelenggu, dan kebudayaan diubah menjadi budaya museum—hanya untuk studi, sehingga umat muslim menjadi budak Barat.
Zionisme
Zionisme merupakan kekuatan kokoh yang menentang Islam dan kaum Muslim. Sasarannya bukan hanya menguasai tanah, tapi juga menyebarkan pemikirannya ke kalangan intelektual Islam, dan mengetahui pemikirannya untuk menghancurkan Islam. Dalam hal ini Hanafi mengutip salah satu ayat al-Qur'an: "Hai orang-orang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi walimu; sebagian mereka adalah wali dari sebagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi wali, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim" (QS. 5:51). Ayat tersebut berarti perdamaian dengan anak-anak Israel dilarang.
Kapitalisme
Bahaya kapitalisme tidak hanya bagi yang mengikutnya, tapi juga kita dalam masyarakat Islam. Kapitalisme terkait dengan masyarakat kelas, dan kekuasaan terletak pada orang yang menguasai modai. Ia tidak membatasi industri militer yang merusak, karena industri ini mendukung dan menguntungkan mereka yang mengabdi modal. Semua ini berarti kemiskinan bagi yang miskin, dan perlakukan istimewa bagi yang kaya. Islam menolak akumulasi kapital oleh sekelompok orang: "supaya harta itu tidak hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu" (QS. 59:7). Islam menolak hak milik istimewa, masyarakat kelas, monopoli dan riba; ia bicara tentang kesamaan, kooperasi, dan solidaritas.
Namun dibalik kelemahan dan ancaman di atas, Islam memiliki potensi/ kekuatan yang menjadi ciri khas utama dan dapat dijadikan kekuatan besar untuk membangun kembali puing-puing peradaban yang telah sirna menjadi lebih maju. Islam memiliki satu potensi mendasar yang selalu dipegang teguh dan tidak mungkin untuk dinafikkan, yaitu kitab suci (al-Qur’an).
Al-Qur’an adalah satu-satunya alat pemersatu umat Muslim dan selalu dijadikan inspirasi mengenai bagaimana harus menjalani kehidupan di muka bumi, baik itu dalam hal ilmu pengetahuan maupun etika berhubungan dengan Tuhan, sesame manusia, dan kepada alam. Kekuatan besar ini dapat menjadi penentu terhadap peluang umat Muslim bangkit dari keterpurukan ilmu pengetahuan.
Menentukan Identitas
Al-Turats wa Tajdid (tradisi dan pembaharuan). Kedua istilah itu diberikan pengertian oleh Hanafi, "tradisi", baginya adalah sebuah titik awal tanggungjawab kebudayaan dan bangsa; sedangkan pembaharuan adalah penafsiran ulang atas tradisi sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan zaman, karena yang lama mendahului yang baru. Oleh karena itu, turats wa tajdid dalam kajian Hassan Hanafi tidak dalam konteks filosofis an sich, melainkan dengan menyertakan argumen historis.
Pada kerangka raksasa inilah, Hassan Hanafi kemudian membuat rumusan yang dapat diklasifikasikan kepada tiga agenda besar, yaitu (Hassan Hanafi, 2000: 3):
1. Sikap kita terhadap tradisi lama
a. Dari teologi ke revolusi
b. Dari transferensi ke inovasi
c. Dari teks ke realitas
2. Sikap kita terhadap Barat
a. Sumber peradaban Eropa
b. Permulaan kesadaran Eropa
c. Akhir kesadaran Eropa
d. Dari kefanaan ke keabadian
e. Dari teks ke rasio akal dan alam
f. Manusia dan sejarah
3. Sikap kita terhadap realitas
a. Metodologi
b. Perjanjian baru
c. Perjanjian lama
Ketiga agenda di atas mengisyaratkan terjadinya proses dialektika antara "Ego" dengan "The Other" dalam realitas sejarah tertentu. Agenda pertama, (Sikap kita terhadap tradisi lama) meletakkan ego pada sejarah masa lalu dan warisan kebudayaannya; Agenda kedua (Sikap kita terhadap tradisi barat) meletakkan ego pada posisi yang berhadapan dengan The Other kontemporer, terutama kebudayaan Barat pendatang.; Agenda ketiga (Sikap kita terhadap realitas/ teori interpretasi) meletakkan ego pada suatu tempat dimana ia mengadakan observasi langsung terhadap realitasnya yang lalu untuk menemukan teks sebagai bagian dari elemen realitas tersebut. Baik teks agama yang terkodifikasikan dalam kitab-kitab suci maupun teks oral tradisional yang terdiri dari kata-kata mutiara dan pepatah. Dua agenda pertama berdimensi peradaban, sedang agenda ketiga adalah realitas (Ibid: Hal 5).

Sikap Kita Terhadap Tradisi Lama

Khazanah/ tradisi keilmuan Islam dapat diklasifikasikan menjadi tiga macam: pertama, ilmu-ilmu rasional-tradisional seperti dasar-dasar agama, yakni ushul al-fiqh, filsafat dan sufisme; kedua, ilmu-ilmu rasional seperti matematika, astronomi, fisika, kimia, kedokteran dan farmasi; ketiga, ilmu-ilmu tradisional seperti ilmu al-Qur'an, ilmu Hadits, sirah (biografi nabi), fiqih, dan tafsir.
Tradisi Islam yang telah berlangsung selama berabad-abad tersebut, beberapa diantaranya telah meruntuhkan sendi-sendi kedigjayaan Islam, terutama dalam kegiatan berfikir. Beberapa diantaranya yang mendapatkan kritik dari Hassan Hanafi adalah (1) pola pikir yang digunakan dalam tasawuf, yaitu: a) memandang alam secara negatif dengan menahanan nafsu dan keinginan; b) tahap di mana perjuangan lahir mentransformasi perjuangan batin, membuat individu berada di antara dua keadaan seperti kecemasan dan harapan, kesadaran dan ketidaksadaran, tiada dan ada; c) dan peleburaan diri dan kesatuan dengan Tuhan melalui fantasi dan ilusi. Jadi, jalan sufism tersebut pada prinsipnya mencoba untuk keluar dari realitas sejarah untuk menuju kepada sesuatu yang berada di luar dunia.
(2) Hukum Islam, suatu hukum yang dikonsuskan pada suatu masa dan tempat tertentu diberlakukan pada masa tempat yang tidak terbatas. Bagi Hanafi, corak hukum Islam seperti demikian tidak menilai atas dasar kemaslahatan umat karena lebih condong kepada arogansi kepentingan. Manusia memiliki hak yang sama dengan manusia yang lainnya, jika umat pada masa lampau berhak melakukan ijtihad maka pada saat inipun harus memiliki posisi yang sama. Logika yang digunakan Hanafi adalah kemaslahatan merupakan landasan ketiga hukum Islam setelah al-Qur'an, as-Sunnah, dan ijtihad.
(3) Filsafat Islam, konsep iluminasi yang menundukkan akal dengan menyerahkan kehendak hukum alam pada kekuatan-kekuatan di luar alam. Kemudian Hanafi juga menyayangkan pemikiran filsafat klasik rasional yang menganggap akal perlu memperoleh bantuan dari langit untuk memperoleh pengetahuan praktis, yang mana dunia kemudian dipandang terdiri dari dua bagian, yaitu dunia langit yang otoritatif dan dunia yang tergantung pada dunia langit.
(4) Teologi, Hassan Hanafi mengkritik keras terhadap ungkapan keimanan yang sering mengabaikan argumentasi, menghancurkan dalil-dalil, dan menyia-nyiakan keilmuan. Terlebih lagi jika persoalan keimanan itu hendak ditetapkan. Hanafi menetapkan keimanannya pada konsep al-Turats wa Tajdid untuk mencari kemungkinan pemecahan krisis modernitas dengan menengok kepada warisan intelektual klasik. Kemudian mencari kemungkinan merekonstruksi bangunan warisan intelektual klasik tersebut guna memberikan sesuatu bagi zaman modern untuk mencapai kemajuan (Hassan Hanafi, 2003: xix).
Bagi Hanafi, keilmuan dasar Ushuluddin ini akan mendorong umat Muslim untuk memperdalam kajian tentang akidah, dan untuk berbuat. Ilmu ini juga merupakan pengganti dari ideologi politik. Pada prinsipnya, akidah keimananlah yang telah memelihara kekuatan rakyat dan menempa pribadi-pribadi tertentu mencintai tanah air, memperlihatkan kegigihannya di dalam melawan kaum penindas.
Pemikiran Hassan Hanafi mengenai teologi pada dasarnya lebih dekat dengan mazhab Mu'tazilah daripada mazhab asy-'Ariyah. Maka dari itu, rumusan Kiri Islam menerima lima prinsip Mu'tazilah dan berusaha menghidupkan kembali warisan tersebut. Kelima prinsip tersebut yaitu:
1. al-Tauhid
Dengan prinsip ini kaum Mu'tazilah menyatakan bahwa Tuhan akan betul-betul Maha Esa kalau Ia merupakan suatu zat yang unik, tidak ada yang serupa dengannya.
2. al-'Adl
Disini Mu'tazilah hendak menegaskan bahwa Allah adalah baik. Allah tidak berkuasa melakukan kezaliman, bahkan tidak mampu meninggalkan al-ashlah (yang terbaik) untuk kemudian mengambil yang tidak sebaik yang pertama.
3. al-Wa'ad wa al-Wa'id
Tuhan tidak dapat dikatakan Maha Adil jika tidak memberi pahala kepada orang yang berbuat baik, ddan tidak menghukum orang yang berbuat buruk
4. al-Manzilah bayn al-Manzilatain
Maksudya para pelaku dosa besar tidaklah termasuk golongan mukmin, tapi juga tidak tergolong orang-orang kafir. Kedudukan mereka berada pada kelompok fasik
5. al-Amr bi al-Ma'ruf wa Nahy'an al-Munkar
Bahwa setiap Muslim wajib melakukan upaya dalam rangka menyiarkan da'wah Islam, dan menunjukkan jalan kepada orang yang sesat, serta menegur orang yang mencampuradukkan kebenaran dengan keadilan.

Meskipun konsepsi teologi Hassan Hanafi mencoba untuk menghidupkan kembali mazhab Mu'tazilah, tetapi dia tidak berhenti hanya dalam tataran idea, melainkan diturunkannya ke dalam realitas kehidupan umat Muslim, atau pada saat ini kita sering menyebutnya dengan istilah teologi pembebasan.
Kritikan Hanafi atas berbagai sendi keilmuan Islam pada dasarnya menginginkan agar umat Muslim melakukan rekonstruksi terhadap pemahaman-pemahaman keagamaan yang selama ini membawa kepada suatu kejumudan berpikir. Selain itu, juga membawa produk-produk pemikiran yang dianggap sesuai dengan kondisi saat ini.

Sikap Kita Terhadap Barat

Setelah teradinya kebangkitan Islam, persoalan agenda kedua ini telah menjadi wacana populer umat Muslim. Ada yang menyikapi Barat dan pembaratan dengan penolakan secara pasif total sebagai bagian dari pembedaan diri dan penegasan identitas. Pada posisi yang bersebrangan sikap ini dikritik dengan argumentasi bahwa tidak setiap yang datang dari Barat adalah jelek, dan bahwa dalam setiap saat kita selalu menikmati produk Barat. Kedua sikap ini sama dialektisnya, dan metode dialektik tidak argumentatif. Keduanya salah, dan penggabungan dua kesalahan tidak akan menyebabkan kebenaran. Secara De Jure sikap menolak dapat dibenarkan, sebab suatu perjalanan harus dimulai dari titik ego. Tetapi secara De Facto adalah salah. Karena ia meninggalkan Barat sebagai objek kajian.
Secara De Jure sikap menerima adalah salah, karena hubungan ego dengan the other adalah hubungan antagonistis, bukan hubungan persamaan. Tetapi secara De Facto dapat dibenarkan, karena ia memandang pentingnya mempelajari dan mengenal peradaban The Other tanpa melihat sumber, representasi, implikasi dan kematangan peradaban tersebut. Disamping itu sikap menerima juga berarti mengubah objek dari tingkat pasif ke aktif, dari reaktif menuju analisa ilmiah yang mantap (Ibid: Hal 9-10).
Barat telah menghegemoni bangsa-bangsa lain dengan langkah imperialisme budaya, artinya Barat melakukan penyerangan terhadap budaya kita dari dalam dengan memusnahkan afiliasinya dengan komunitas (ummah) sehingga komunitasnya menjadi tidak berakar. Barat juga menyediakan model pembangunan sebagai alat untuk menguasai dan menghilangkan kekhasan bangsa-bangsa lain. Akibatnya bangsa-bangsa non-Barat tidak mampu menentukan nasib dan menguasai kekayaan mereka sendiri.
Sebagai solusi atas problematika tersebut, Hanafi mengambil langkah dengan mendorong peradaban Barat kembali ke Barat, menjadikan Barat sebagai tema studi khusus bagi peradaban non-Barat, yang ia sebut sebagai Oksidentalisme.

Pondasi Ilmu-Ilmu Dalam Islam

Khasanah keilmuan Islam klasik merupakan salah satu yang dapat dijadikan sandaran untuk memajukan peradaban Islam, selain meminjam dari peradaban Barat-Modern. Meskipun tidak diposisikan sebagai “pilar suci”, namun kita dapat memetik pelajaran. Dan ini sebagai konsekuensi teori keterkaitan antar peradaban.

Islam memiliki basis universalitas dalam keilmuan, dalam hal ini Hassan Hanafi mengkompresnya dalam satu istilah, yaitu transendensi. Dalam wujud transendensi inilah ontologi, epistemologi, dan aksiologi berpadu menjadi kesatuan yang utuh.

Ontologi

Secara ontologis, ilmu pada dasarnya adalah manusia, ia lahir dari manusia dan untuk manusia. Ilmu merupakan proses manusia menjaab ketidaktahuannya mengenai berbagai hal dalam hidupnya. Oleh karena itu tujuan ilmu pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dengan realitas dan tantangan yang dihadapi manusia itu sendiri .
Namun persoalan akan bertambah rumit jika telah merambah mengenai prinsip ontologi, yaitu being/ ada. Dalam Islam, konsep being akan menekankan kepada dua hal, yaitu ada yang menciptakan dan ada yang diciptakan, ada yang menyebabkan dan ada yang diakibatkan .

Dalam hal ini, Prof. Dr. Musa Asy’arie menyingkap proses penciptaan terdapat 5 faktor yang menentukan: 1) adanya pencipta (subjek); 2) adanya ciptaan (objek); 3) adanya bahan yang dipakai; 4) adanya tujuan, yaitu gagasan ideal mengenai objek ciptaan, baik bentuk maupun apa yang ingin dicapai dengan bentuk itu; 5) adanya proses, yang didalamnya berkaitan dengan ruang dan aktu, dimana proses penciptaan dilakukan dan memakan waktu lama.

Sedangkan dalam epistemologi, Islam memiliki kesempurnaan metode mencari ilmu yang mencakup tiga hal, yaitu kasbi atau khushuli dan ladunni atau khudhuri. Kasbi adalah cara berpikir sistematik dan metodik yang dilakukan secara konsisten dan bertahap melalui proses pengamatan, penelitian, percobaan dan penemuan. Sedangkan ladunni, diperoleh oleh orang-orang tertentu, dengan tidak melalui proses ilmu pada umumnya, tapi oleh proses pencerahan oleh hadirnya cahaya illahi dalam qalb, atau kita biasa menyebutnya dengan intuisi

Begitupula ketika menyangkut persoalan aksiologi, maka Islam tidak semata-mata menekankan bahwa ilmu adalah untuk ilmu. Ilmu Islam selalu mempertimbangkan bagaimana eksistensi manusia dalam segala aspeknya, baik individu maupun masyarakat, baik hubungannya dengan Tuhan, dengan sesama manusia, maupun dengan alam.

Menanggapi persoalan iniah kemudian Hassan Hanafi mengungkapkan baha ontologi, epistemologi, dan aksiologi ilmu dalam Islam adalah transendensi. Transendensi merupakan kesatuan universal yang tidak dapat dipisahkan. Konsisten dengan kodrat sebuah agama yang tidak dapat melepaskan realitas keberadaan Tuhan, dan menyadari baha Tuhan yang akan membimbing manusia mencapai pencerahan peradaban. Tidak akan pernah berjalan dengan baik suatu ilmu apapun jika tidak mendapatkan ridlanya.

Simpulan

Menyadari pentingnya melakukan revitalisasi ilmu pengetahuan dan teknologi dalam khasanah Islam adalah langkah penting bagi umat Muslim untuk memulai kembali membangun peradaban. Kembali melihat khasanah keilmuan klasik yang kemudian diambil hikmah yang dapat disesuaikan dengan realitas zaman adalah strategi utama yang mesti dilakukan.
Adalah Turats wa tajdid yang telah diprakarsai oleh Hassan Hanafi, Muhammad al-Jabiry, dan Muhammad Imarah kiranya dapat dijadikan proyek besar untuk melakukan revitalisasi keilmuan Islam. Memang masih banyak kelemahan, karena disini tidak disebutkan bagaimana institusi yang harus dibentuk oleh umat Muslim. Namun juga harus dilihat betapa pembentukan sebuah institusi dalam kondisi keterpecah-belahan umat tidak akan berjalan secara maksimal karena akan terbentur dengan kepentingan setiap kelompok yang hingga saat ini belum mampu dicarikan jalan keluar.

Daftar Pustaka

Asy’arie, Musa. 2001. Filsafat Islam: Sunnah Nabi Dalam Berpikir. LESFI: Yogyakarta

Hanafi, Hassan. 2003. Cakrala Baru Peradaban Global. IrCiSod: Yogyakarta

____________. 2003. Bongkar Tafsir: Liberalisasi, Revolusi, Hermeneutik. Prisma Sophie: Yogyakarta
____________. 2000. Oksidentalisme; Sikap Kita Terhadap Tradisi Barat. Jakarta: Paramadina

____________. 2003. Dari Akidah ke Revolusi; Sikap Kita Terhadap Tradisi Lama. Jakarta: Paramadina

Ishomuddin. 2005. Sosiologi Perspektif Islam. UMM Press: Malang

Mughni, A. Syafiq. 2002. Dinamika Intelektual Islam Pada Abad Kegelapan. LPaM: Surabaya

Muthahhari, Murtadha. 1996. Islam dan Tantangan Zaman. Pustaka Hidayah: Bandung

*) Aktivis IMM Sukoharjo

Menjadikan Penjara Bebas Narkoba

Haryanto*))
Aneh bin ajaib. Kira-kira begitulah kalimat yang pantas untuk mengomentari kejanggalan atas proses penanggulangan peredaran narkoba di negeri ini. Bagaimana tidak, hampir setiap hari kita menyaksikan pemberitaan di media massa perihal tertangkapnya pemakai atau pengedar narkoba. Namun hingga hari ini, persoalan narkoba tetap saja menghantui para generasi penerus bangsa Indonesia, bahkan narkoba telah ditetapkan sebagai persoalan dalam skala nasional.
Lantas, kemanakah para narkobais yang telah tertangkap tersebut? Tentu saja berada di dalam penjara. Karena penjara adalah tempat pembuangan akhir bagi manusia-manusia tak bermoral yang telah merusak tatanan sosial dalam masyarakat. Tapi, benarkah penjara merupakan tempat yang steril dari peredaran narkoba?
Tampaknya kita harus berani mengatakan “tidak” untuk menjawab pertanyaan tersebut. Penjara pada saat ini lebih tepat jika disebut sebagai tempat persinggahan sementara bagi para gembong-gembong narkoba. Sebab, di tempat itulah mereka melakukan konsolidasi, mengontrol, memproduksi, hingga memasarkan narkoba dalam skala yang tidak sedikit jumlahnya.
Kenyataan bahwa terdapat pasar narkoba di dalam penjara, sebenarnya bukanlah berita baru. Pada tahun 2004, publik pernah dikejutkan oleh kasus masuknya barang haram narkotika jenis sabu-sabu di LP Kebunwaru, Kota Bandung, di salah satu kamar tahanan narapidana.
Disusul, Direktorat Narkoba Polda Jawa Timur berhasil membongkar jaringan narkoba yang ternyata dikendalikan dari tiga rumah tahanan (rutan) dan lapas, yakni Rutan Kelas 1 Surabaya Medaeng, Lapas Sidoarjo, dan Lapas Pamekasan. Kasus terakhir terjadi di Lapas kelas IIA, Padang, Sumatera Barat. Dengan ditemukannya ganja seberat 1 kilogram di kamar salah seorang tahanan yang bernama Adi Warman alias Matong.
Fakta-fakta di atas tentunya akan membawa kerangka berpikir kita menuju kepada kesimpulan bahwa telah terjadi “kolaborasi hitam” antara kriminal narkoba di dalam penjara dengan aparat penegak hukum yang bertanggungjawab mengamankan penjara.
Logikanya amat sederhana. Penjara adalah tempat yang sengaja terisolir dari “dunia luar”. Segala bentuk hubungan komunikasi yang melibatkan “dunia luar” terlebih dahulu harus meminta izin kepada aparat penegak hukum atau sipir penjara. Artinya, narkoba sebagai bagian dari “dunia luar” yang masuk ke wilayah terisolir pasti akan melibatkan oknum penegak hukum atau sipir penjara.

Mengontrol Komunikasi
Pengadaan sistem pengamanan berbasis teknologi adalah salah satu jawaban yang patut dipertimbangkan untuk melenyapkan “kolaborasi hitam” di dalam penjara. Sebab, keterkaitan aparat penegak hukum dalam peredaran narkoba juga disebabkan oleh lemahnya tingkat pengamanan yang ada di dalam penjara itu sendiri.
Boleh dikatakan jika sistem pengamanan penjara di Indonesia masih menggunakan perangkat feodal, bahkan banyak diantaranya hanya meneruskan dan memanfaatkan bangunan peninggalan Belanda. Sehingga tidak mengherankan jika banyak para narapidana yang berhasil meloloskan diri dari dalam penjara dan juga sesuatu yang wajar jika pasar narkoba di dalam penjara sulit dideteksi keberadaannya.
Dalam hal ini, minimal, penjara harus mempunyai perangkat teknologi pengawasan pada setiap kamar tahanan dan pada ruang-ruang yang berpotensi menjadi tempat berkomunikasi para narapidana, seperti ruang makan dan olah raga. Penggunaan teknologi pengawasan tersebut bertujuan untuk mengantisipasi adanya proses komunikasi terlarang para narapidana, seperti terjadinya transaksi narkoba.
Jika di pasar modern saja telah memakai perangkat teknologi yang sedemikian rupa canggihnya, penjara seharusnya mendapatkan perangkat teknologi yang lebih canggih dari itu. Dalam hal ini, pemerintah harus berani mengeluarkan anggaran yang lebih besar dari kas negara.
Langkah selanjutnya yaitu dengan membentuk sikap profesionalisme para penegak hukum yang terkait dengan pengamanan di dalam penjara. Artinya, aparat penegak hukum harus memiliki moralitas yang kuat agar tidak termakan rayuan maut para pengedar narkoba, dan memiliki komitmen yang tinggi untuk menegakkan hukum tanpa pandang bulu.
Oleh karena itu, aparat penegak hukum yang bertugas mengamankan penjara adalah orang-orang khusus yang telah melalui tahap seleksi yang ketat dan objektif. Strategi ini ditujukan untuk meminimalisir terjadinya “kolaborasi hitam” yang selalu mengiringi peredaran narkoba di dalam penjara. Dengan kata lain, penjara akan terbebas dari narkoba.
Dua solusi di atas (teknologi pengawasan dan profesionalisme aparat penegak hukum) dapat direalisasikan jika di negeri ini telah benar-benar memiliki komitmen yang tulus untuk memberantas narkoba sampai ke akar-akarnya. Karena tanpa komitmen tersebut, gagasan sebaik apa pun yang dikeluarkan oleh rakyat tak akan pernah mendapatkan respon secara positif.
Di luar itu semua, masyarakat sebagai bagian tak terpisahkan dari negeri ini, juga harus mulai sadar diri untuk selalu mengkampanyekan secara aktif bahwa narkoba adalah common enemy (musuh bersama) yang harus diperangi. Dan yang terpenting, jangan sampai terjebak ke dalam perangkap narkoba yang mematikan.
*)) Aktivis IMM Sukoharjo